Selasa, 03 Mei 2011

Bagaimana pandangan Kristen terhadap Taurat bermula?


 

Kekeliruan cara pandang Kristen terhadap Taurat dan juga "Perjanjian Baru" disebabkan olehpenafsiran yang dilakukan dengan cara-cara non-Ibrani dan banyak mengabaikan konteks historis yang ada. Ini adalah bagian dari permasalahan. Jika anda mempunyai wawasan yang salah tentang budaya pada masa itu, anda akan tiba pada kesimpulan yang keliru, yang pada gilirannya akan menghasilkan doktrin yang salah.

Sebagai contoh ketidak-pedulian akan konteks historis/budaya terdapat pada bukunya J. Vernon McGee yang sudah disebutkan sebelumnya. Pengajar Kristen ini menjelaskan kata kumpulan (assembly) yang ditemukan dalam Yakobus 2:2 seperti berikut:

"Kata kumpulan (assembly) disini berarti sinagoga. Jelas sekali disini orang-orang Jewish Christian menyebut tempat dimana mereka berkumpul sebuah sinagoga. Mereka tidak membangun gedung khusus dan secara teratur berkumpul di rumah-rumah jemaat, namun ada kemungkinan di banyak tempat mereka menyewa sebuah sinagoga. Mereka bertemu di hari Minggu, bukan hari Sabtu supaya tidak bertubrukan dengan pertemuan orang-orang Yahudi." (Thru the Bible Commentary Series, JamesJ. Vernon McGee, Thomas Nelson Publishers, Nashville, 1991, p. 56)

Sayangnya, orang-orang Kristen akan membaca tulisan tersebut apa adanya dan menerimanya sebagai "fakta" – lagipula ini kan penjelasan dari orang yang terkenal, maka sudah pasti benar. Sayangnya lagi, penjelasan Bapak McGee ini penuh dengan kesalahan dan semakin menambah kekeliruan umat Kristen.

Dari hasil analisis pernyataan di atas terungkap kekeliruan yang mesti diluruskan:

  • "Jewish Christian" – Tidak ada sebetulnya apa yang dinamakan "orang-orang Jewish Christian". Ini adalah sebuah istilah modern. Penggunaan istilah ini mendukung pendapat bahwa orang Yahudi pengikut Yeshua yang mula-mula telah berpindah agama dari Yudaisme ke Kristen. Penggunaan kata Kristen sendiri baru muncul kemudian untuk mengacu kepada orang percaya di Antiokhia (Kis 11:26) dan istilah ini mula-mula digunakan oleh penguasa Romawi sebagai kata hinaan. (Ada petunjuk bahwa kata Kristen disisipkan kemudian ke dalam Perjanjian Baru karena pada sejumlah manuskrip tua dijumpai kata "pemberi sedekah" (dan bukannya Kristen). Ini nampak seperti sebuah bentuk pelecehan dari orang-orang Romawi karena "pemberian sedekah" merupakan istilah dan praktek ibadah dari orang Yahudi. Ini menunjukkan bahwa orang-orang percaya bukan Yahudi di Antiokhia "telah menjadi seperti Yahudi" dalam iman baru mereka. Bagi orang Romawi, menjadi seperti Yahudi adalah memalukan.)

  • Mereka "menyebut tempat dimana mereka berkumpul sebuah sinagoga" karena satu dari dua kemungkinan. Mereka bisa jadi menggunakan bangunan sinagoga atau mereka berkumpul di suatu gedung lain yang masih di berada di dalam lingkungan sinagoga. Bukan saja "kekristenan" belum ada pada waktu itu, juga halnya tidak ada kumpulan "Kristen" yang dapat terorganisasi dan berkumpul, karena hal ini tidak diizinkan oleh penguasa Romawi. Orang Yahudi sebaliknya mempunyai izin untuk itu, di bawah hukum Romawi. (The Mystery of RomansMark Nanos, 1996, Fortress Press, Minneapolis, pp. 64-68. Julius Caesar sangat menaruh hormat terhadap agama kuno dan memberikan orang Yahudi hak legal yang disebutcollegia, mengizinkan mereka untuk berkumpul, memerintah dan menarik pajak sendiri, dan menerapkan aturan-aturan mereka sendiri. Orang Yahudi adalah satu-satunya bangsa yang diberikan hak demikian. Hal ini menimbulkan kebencian di antara penduduk Romawi lainnya.) Di samping itu, jemaat mula-mula tetap datang mengunjungi Bait Elohim (Kis 2:46) dan sinagoga-sinagoga, termasuk orang-orang bukan Yahudi, karena ini satu-satunya tempat dimana Alkitab dibacakan dan mereka bisa belajar Taurat (Kis 15:21). 

  • "Menyewa sebuah sinagoga" – Ini adalah contoh bagaimana sebuah pernyataan yang menggelikan disebar-luaskan sebagai "pengetahuan". Adalah illegal bagi orang Yahudi untuk menyewakan bangunan mereka kepada kelompok mana saja kecuali kalau mereka mau kena sanksi dari penguasa Romawi. Para pengikut Yeshua mempunyai hak penuh sebagai orang Yahudi untuk terus beribadah secara normal di sinagoga.

  • "Mereka bertemu di hari Minggu" – Pernyataan ini tidak didukung fakta sama sekali. Para pengikut Yeshua tetap berkumpul di sinagoga-sinagoga pada hari Sabat. Praktek ibadah yang umum dilakukan adalah havdallah – berkumpul di rumah setelah matahari terbenam untuk melanjutkan diskusi dan pujian pada ibadah Sabat hari itu. Ini menjelaskan mengapa Paulus dikatakan "berbicara sampai tengah malam" dalam Kisah Para Rasul 20:7. Hari pertama dalam seminggu bagi orang Yahudi (seperti Paulus) dimulai pada saat matahari terbenam di akhir hari Sabat – yakni hari Sabtu malam bukan hari Minggu(Orang Yahudi memandang sebuah hari dimulai pada saat matahari terbenam di malam hari dan bukan dimulai pada pagi hari seperti penduduk dunia lainnya. Pandangan ini berdasarkan atas kisah penciptaan (Kej 1:3-5). Hari Sabat sendiri dimulai pada Jum’at petang dan berakhir pada Sabtu petang. 
  • Lagi, mereka "tidak bertubrukan dengan pertemuan orang-orang Yahudi" karena mereka tetap adalah orang Yahudi dan tetap mendatangi sinagoga bersama-sama saudara mereka yang belum menerima Yeshua.

Sejarah singkat asal mula Gereja Kristen dan doktrinnya

Bagaimana bisa kepercayaan Yahudi Messianis yang berbasiskan Taurat seperti ini…

  • "Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu jot atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hokum Taurat sekalipun yang paling kecil dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang paling tinggi di dalam Kerajaan Sorga." (Matius 5:18-19)

  • Mendengar itu mereka memuliakan Tuhan. Lalu mereka berkata kepada Paulus, "Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat." (Kisah Para Rasul 21:20)

  • "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia,tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel di bawah hukum nenek moyang kita sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Eloah sama seperti kamu semuapada waktu ini." (Kisah Para Rasul 22:3)

  • "Saudara-saudara yang kekasih, bukan perintah baru yang kutuliskan kepada kamu, melainkanperintah lama yang telah ada padamu dari mulanya. Perintah lama itu ialah firman yang telah kamu dengar." (I Yohanes 2:7)

Berubah menjadi kepercayaan non-Yahudi yang tidak berbasiskan Taurat seperti ini…

  • "Bahwa Kristen mengungguli Yudaisme…", "Paulus mengajarkan bahwa perbudakan hukum Taurat telah berakhir ketika Yesus membebaskan semua manusia." (dari kutipankutipan pengarang Kristen yang sudah disajikan di bagian awal)

Dalam "Perjanjian Baru" jelas tertulis bahwa Yeshua, para rasul dan para jemaat mula-mula adalah para pelaku Taurat yang taat. Bagaimana ceritanya kondisi seperti ini bisa berkembang menjadi kondisi Gereja Kristen saat ini yang tidak berbasiskan Taurat ?

Penguasa Romawi di abad pertama dan kedua sering kali mempunyai masalah dengan propinsi Yudea dan Galilea. Kerusuhan dan pemberontakan berulang kali terjadi di dua propinsi Yahudi itu, dan sampai kepada puncaknya adalah terjadinya dua kali peperangan besar antara bangsa Yahudi dan penguasa Romawi. (Lihat Jerusalem – One City Three Faiths, Karen Amstrong, Alfred A. Knopf, New York, 1996)

 

Ada dua peristiwa penting yang terjadi di sekitar masa itu:
  • Yakobus (nama sebenarnya adalah Ya’aqov, saudara Yeshua) mati syahid.
  • Bait Elohim dihancurkan.

Sepeninggal Yeshua, kepemimpinan jemaat diserahkan kepada saudara-Nya, Ya’aqov yang dijulukiTzaddik (Orang Saleh). Ya’aqov diakui telah memegang peranan yang sangat besar dalam menjembatani hubungan antara kelompok Messianis dengan kelompok Yahudi lainnya (James the Brother of JesusRobert Eisenman, 1997, Penguin Books, New York, NY.). Ia memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Farisi dan Esseni, dan hidup sangat keras dan teliti dalam menjalankan Taurat sehingga dikabarkan bahwa ia diperbolehkan untuk memakai jubah imam dan berdoa di Ruang Imam dalam Bait Elohim. Tetapi Ananus, Imam Besar saat itu bukan main sentimennya dengan Yakobus. Pada tahun 62, Ia membawa Yakobus ke hadapan Sanhedrin dan imam-imam Saduki. Oleh hasutan Ananus pula mereka menjatuhkan tuduhan pelanggaran Taurat terhadap Yakobus karena bersikeras mengatakan bahwa Yeshua adalah Sang Mesias. Mereka berseru, "Oh, Tzaddik ini juga ikut-ikutan salah !" Kemudian mereka menyeretnya dan menjatuhkannya dari bubungan Bait Elohim (Ecclesiastical History, Eusebius, 325. (Buku II bab XXIII)). Beberapa orang Farisi berusaha membela Yakobus dan memrotes tindakan Ananus kepada raja Agrippa dan Albinus, wali negeri Romawi. Akibatnya Ananus kemudian dicopot dari jabatan yang baru disandangnya tiga bulan (Antiquities of The Jews, Flavius Josephus, 93. (Antiquities 20:9:1)). Dengan wafatnya Yakobus, hubungan baik antara dua kelompok Yahudi ini makin hari makin menurun.

Selang beberapa tahun kemudian, jendral Titus datang memikul tugas berat dari ayahnya, Kaisar Vespasianus, untuk menghadapi bangsa yang amat fanatik dengan agamanya itu. Di saat-saat itulah para pengikut Yeshua teringat akan pesan-Nya:

"Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung oleh tentara-tentara ketahuilah, bahwa keruntuhannya sudah dekat. Pada waktu itu orang- orang yang berada di Yudea harus melarikan diri ke pegunungan, dan orang-orang yang berada di dalam kota harus mengungsi, dan orang-orang yang berada di pedusunan jangan masuk lagi ke dalam kota sebab itulah masa pembalasan di mana akan genap semua yang ada tertulis." (Luk 21:20-22)

Di bawah pimpinan Simeon (juga saudara Yeshua), mereka kemudian mengungsi ke Pella, sebuah kota di seberang sungai Yordan. Seperti apa yang telah diramalkan Yeshua, Yerusalem beserta Bait Elohim akhirnya diluluh-lantakkan oleh pasukan Romawi (70 M). Enam ribu orang Yahudi gugur saat itu dalam mempertahankan Yerusalem. Disinilah timbul perselisihan. Larinya kaum Messianis dari keikutsertaan mempertahankan Yerusalem dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak "patriot".

Dua kombinasi peristiwa ini menyebabkan terjadinya perpisahan antara orang-orang Yahudi yang percaya kepada Yeshua dengan yang tidak. Sampai akhirnya pada tahun 90, para pemimpin agama Yahudi memutuskan untuk melarang kaum Messianis beribadah lagi di sinagoga. Hal ini menyebabkan komunitas Nasrani (termasuk orang-orang bukan Yahudi yang menerima Yeshua) semakin jauh dari orang-orang Yahudi lainnya.

Perpisahan ini memberikan peluang bagi orang-orang percaya non-Yahudi (yang berlatar belakang dari kultur paganisme) yang tidak mempedulikan keyahudian "kepercayaan" mereka – untuk bersuara lebih besar dalam urusan-urusan komunitas dan penafsiran Alkitab. Polemik anti-Yahudi sudah muncul seawal-awalnya pada tahun 98 dalam ajaran St. Ignatius, uskup Antiokhia – kota dimana istilah Kristen pertama kali dipakai. Ignatius mengatakan kepada orang-orang Kristen non-Yahudi agar tidak lagi mengikuti cara beribadah orang-orang Yahudi dan kepada orang-orang Yahudi yang telah menerima Mesias agar menghentikan cara hidup Yahudi mereka. Demikian tulisnya: "tidak masuk akal berbicara tentang Yesus Kristus dengan lidah [Yahudi] dan menumbuhkan harapan dalam pemikiran kepercayaan Yahudi yang sekarang sudah berakhir." (Letter to Magnesians, Ignatius, 98.)

Perang Yahudi kedua terjadi pada tahun 135 yang dipicu sebelumnya oleh rencana Kaisar Hadrian untuk membangun Yerusalem menjadi kota metropolis baru dengan nama Aelia Kapitolina. Hadrian juga berencana mendirikan kuil Yupiter dan Venus di atas reruntuhan Bait Elohim. Maka bangkitlah orang Yahudi melawan rencana ini di bawah pimpinan Simon Bar Koseba. Tetapi kekuatan mereka tidaklah sebanding dengan Romawi. Pasukan Romawi
membumi-hanguskan 985 kota dan lebih dari setengah juta orang Yahudi tewas dalam peperangan ini, termasuk di antaranya adalah anggota komunitas Nasrani (Caesar and Christ, Will Durant, 1944, Simon and Schuster, New York, p. 548.). Hadrian kemudian mengeluarkan undang-undang baru yang melarang orang Yahudi untuk beribadah pada hari Sabat, merayakan hari-hari raya Tuhan, mengadakan upacara-upacara keagamaan, dan membaca Taurat. Inilah saat dimulainya masaDiaspora Yahudi. Rencana Hadrian terus berlanjut, sebuah kota baru berdiri dan Hadrian mendatangkan orang-orang Yunani dan Suriah untuk mengisi kota baru tersebut. Tidak dapat disangkal, beberapa di antara orang-orang itu adalah orang Kristen (Ecclesiastical History 4:6. Eusebius melaporkan adanya sebuah gereja non-Yahudi di masa itu.). Orang Yahudi sendiri, termasuk dari golongan Messianis, dilarang untuk mendekati kota Yerusalem dalam radius 150 mil. Apa yang tinggal tersisa sedikit dari komunitas Nasrani ini segera tersingkir oleh kedatangan orang-orang Kristen non-Yahudi itu. Bahkan kepemimpinan
komunitas Nasrani – yang turun temurun dipegang oleh kerabat Yeshua: Yakobus, Simeon, Yustus, Zakheus, Tobias, Benyamin, Yohanes, Matias, Filipus, Seneka, Yustus, Lewi, Efres, Yusuf, dan Yudas(Ecclesiastical History 4:5.)  – diambil alih oleh uskup non-Yahudi.

Kepemimpinan "Gereja" non-Yahudi yang baru ini kelak mempengaruhi posisi pemerintah Romawi terhadap orang Yahudi dan melahirkan sikap memusuhi apa saja yang berbau Yahudi, termasuk kitab Taurat. Puluhan doktrin-doktrin salah dikembangkan sedini-dininya mulai abad kedua. Di antaranya yang mengajarkan bahwa hukum Taurat sebenarnya diberikan untuk menghukum orang Yahudi, bahwa Yerusalem dihancurkan dan diambil dari orang Yahudi karena dosa mereka, dan bahwa "Gereja" sekarang telah menggantikan posisi Israel sebagai umat Tuhan (replacement theology).(Kehancuran Yerusalem juga menjadi alasan bagi pihak Gereja Roma untuk mengklaim diri sebagai pusat ajaran "Kristen" yang baru.)

Ambil contoh, pada awal abad kedua, kita mendapati "Bapa Gereja" Yustinus Martyr berkata:

"Kami juga, akan turut menjalankan sunat dagingmu itu, hari-hari Sabatmu dan singkat kata semua upacara-upacaramu, jika saja kami tidak mengetahui alasan mengapa itu semua dibebankan kepadamu, yaitu karena dosa-dosamu dan kekerasan hatimu. Kebiasaan sunat, yang diturunkan dari mulai Abraham, diberikan kepadamu sebagai tanda pembeda, untuk memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain dan dari kami, orang Kristen. Tujuan hal ini ialah supaya kamu dan hanya kamu mengalami kesusahan ini yang sekarang pantas kamu terima; dimana negerimu  menjadi sunyi, dan kota-kotamu dirubuhkan oleh api, buah-buah yang dihasilkan negerimu dimakan oleh orangorang asing di depan matamu, tidak seorangpun darimu yang diperbolehkan memasuki Yerusalem. Sunat dagingmu itu hanya menjadi tanda supaya kamu dapat dibedakan dari orang-orang lain…seperti yang saya katakan sebelumnya adalah karena dosa-dosamu dan dosa nenek moyangmu, di antara perintah-perintah lainnya, Tuhan membebankanmu untuk memelihara Sabat untuk menjadi tanda." (Dialogue with Trypho, Justin Martyr (Circa 138-161 M))

Pada abad ketiga, kita mendapati pernyataan Origen dari Alexandria yang tersohor itu: "Kami dengan demikian boleh menegaskan dengan keyakinan penuh bahwa orang Yahudi tidak akan kembali lagi ke keadaan mereka semula, oleh sebab mereka telah melakukan kejahatan yang paling keji, dengan mengadakan persengkongkolan melawan Juru selamat manusia…maka itu kota dimana Yesus menderita perlu dihancurkan, bangsa Yahudi dibuang dari negerinya, dan untuk itu bangsa lain telah dipanggil dan dipilih Tuhan." (Origen dari Alexandria (185-254 A.D.) seperti dikutip dari Scattered Among the Nations, Documents Affecting Jewish History 49 to 1975, diedit oleh Alexis P. Rubin, Jason Aronson Inc., London, pp. 22-23.)


Sikap dari kedua "Bapa Gereja" ini bukanlah hal yang tidak lazim. Pada masa Yeshua dan para rasul, seluruh penduduk dalam Kerajaan Romawi mempunyai sikap bermusuhan dengan bangsa Yahudi karena hak istimewa mereka. Orang-orang cendekiawan Roma pada masa itu banyak menulis karya-karya yang mengandung hinaan terhadap orang Yahudi yang hidup di antara mereka (Jew & Gentile in the Ancient World, Louis H. Feldman, 1993, Princeton University Press, Princeton, NJ, pp. 123-176). Masyarakat Romawi adalah masyarakat penyembah berhala dan beribadah kepada banyak dewa-dewi. Di tengah-tengah mereka inilah hidup sekitar 7 juta masyarakat Yahudi (kira-kira 10 persen dari total populasi Romawi), boleh dibilang cuma minoritas (Caesar and Christ, Will Durant, 1944, Simon and Schuster, New York, p. 546.). Bangsa Yahudi diperbolehkan untuk tidak turut beribadah kepada dewa-dewi Roma, tidak seperti halnya bangsa-bangsa taklukan lainnya yang dipaksa untuk itu (The Mystery of Romans, Mark Nanos, 1996, Fortress Press, Minneapolis, pp. 64-68.). Orang-orang Kristen non-Yahudi datang dari latar belakang ini dan tidak menaruh peduli dengan hal-hal keyahudian seperti Sabat dan Taurat. Bagi mereka menjalankan hal-hal semacam itu merupakan "kebodohan". Begitu kepemimpinan orang Yahudi dalam "Gereja" berhasil disingkirkan, perubahan demi perubahan berhasil diterapkan tanpa oposisi berarti dari kalangan orang percaya Yahudi. Justru silang pendapat mengenai doktrin-doktrin kekristenan terjadi di kalangan orang-orang non-Yahudi ini. Unsurunsur gnostisme, pantheisme, dan paganisme begitu mudahnya terserap ke dalam Kristen dan sebaliknya Taurat dan hal-hal berbau Yahudi semakin ditinggalkan.

Tetapi Kristen belum benar-benar menjadi agama resmi sampai awal abad keempat. Pada tahun 312,Kaisar Konstantin (seorang penyembah berhala matahari yang baru bersedia dibaptis saat hendak menghembuskan nafas terakhirnya) mengklaim memperoleh "penglihatan" yang mengantarnya kepada "legalisasi Kristen" dengan mengeluarkan Undang-undang Milan (Undang-undang Milan juga menetapkan hari Minggu sebagai hari beribadah.). Hal ini memulai sebuah proses yang pada akhirnya membuat Kristen menjadi agama resmi kerajaan. Sekarang, jika anda seorang Yahudi, dan ingin "menerima Yeshua sebagai Mesias", anda harus menyatakan diri meninggalkan keyahudian anda dan menjadi "Kristen". Sedangkan orang-orang non-Yahudi yang menggabungkan dirinya dalam ibadah orang Yahudi akan dihukum karena melanggar undang-undang.

Konstantin memainkan pula peranan yang penting dalam urusan intern Gereja. Ia melibatkan diri secara aktif dalam sengketa antara pengikut Arius dengan pengikut Athanasius (dua teolog Kristen yang mengajukan doktrin berbeda tentang aspek ketuhanan Yesus). Ia kemudian memanggil 300 uskup dari seluruh dunia untuk menghadiri konsili di Nicea pada tahun 325. Meski begitu Konstantin sebetulnya tidak begitu peduli dengan apa yang dibicarakan dalam
konsili tersebut karena ia sangat awam terhadap masalah-masalah teologi (ingat, ia sendiri belum menyerahkan dirinya dibaptis saat itu dan tetap beribadah kepada berhala matahari). Baginya yang penting kesatuan dan stabilitas negara bisa tetap terjaga.

Konsili Nicea dan konsili-konsili lainnya yang menyusul belakangan menghasilkan keputusan yang kelak menjadi doktrin dan kredo yang dianut oleh Kristen sampai hari ini. Konsili-konsili ini diadakan oleh orang-orang bukan Yahudi yang berasal dari latar belakang anti-Yahudi sama seperti mereka yang hidup dua abad lalu. Orang-orang percaya dari kalangan Yahudi yang tetap memelihara Taurat dilarang untuk ikut serta dalam rapat-rapat seperti itu, dan posisi mereka terhadap pemahaman Alkitab yang berbasiskan Taurat ikut "dilibas" (Pertemuan terakhir yang diketahui antara orang Yahudi (minoritas) dengan orang non-Yahudi (mayoritas) terjadi pada tahun 318 yakni antara Paus Silvester, yang mewakili Kaisar dengan Yoses, juru bicara desposyni (orangorang yang masih punya hubungan darah dengan Yeshua). Setelah pertemuan itu, Silvester mengambil alih kepemimpinan para desposyni dan menyerahkannya kepada uskup-uskup Romawi. Sejak itu hilang sudah peranan orang Yahudi dalam "Gereja".).  Salah satu keputusan konsili adalah barangsiapa ketahuan makan bersama-sama orang Yahudi tidak akan diperbolehkan ambil bagian dalam komuni supaya ia boleh "belajar untuk berubah" (Council of Elvira, 304 A.D.Canon 50, Laws Relating to Jews), dan bila menikah dengan seorang Yahudi akan dikucilkan dari masyarakat (Council of Elvira, 304 A.D., Canon 16, Laws Relating to Jews).

Sisa-sisa orang percaya yang tetap bertahan kepada kepercayaan yang berbasiskan Taurat seperti halnya jemaat mula-mula, senantiasa menjadi bahan olok-olok dan sudah untung cuma dianggap "lemah iman" jika tidak mau dicap sesat.

Contohnya, kita dapati Epiphanius, pada abad keempat, berkata:

"Mereka [kaum Nasrani] tidak mempunyai pendapat yang berbeda namun melakukan semua hal tepat seperti apa yang diperintahkan dalam Taurat, menurut tata cara Yahudi – kecuali kepercayaan mereka terhadap Mesias…tetapi karena mereka tetap terbelenggu oleh hukum Taurat – sunat, Sabat, dan lainnya – mereka tidak termasuk ke dalam Kristen."(Panarion 29, Epiphanius, abad keempat.)

Pada akhir abad keempat, apa saja yang berhubungan dengan kepercayaan "pro-Taurat" telah lenyap dalam lautan "kekristenan". Konsili di Antiokhia (341 M) dan Laodicea (360 M) melarang orang Kristen untuk turut serta dalam peribadatan Yahudi. Seperti yang dikatakan sejarahwan modern, hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa tradisi Yahudi itu "sudah dari sananya buruk, usang, dan tidak relevan lagi terhadap kehidupan orang Kristen sehari-hari."( Paul and the Jewish Law - Halakha in the Letters of the Apostle to the GentilesPeter J. Tomson, 1990, Fortress Press, Minneapolis, p. 3.)

Kepercayaan terhadap Yeshua berubah dari 100 persen Yahudi menjadi 100 persen anti-Yahudi dalam waktu kurang dari 300 tahun.

Semua ini kelak menjadi dasar "Gereja" Kristen. Penganiayaan terhadap orang Yahudi sepanjang sejarah, Perang Salib, Inquisisi, pengusiran massal yang tidak terhitung jumlahnya dalam sejarah, isolasi di dalam ghetto dan tentu saja Holocaust-nya Hitler, semuanya merupakan hasil langsung dari doktrin anti-Yahudi Gereja.


Dasar sikap anti-Yahudi ini tidak berubah sekalipun dengan reformasi yang dilakukan oleh kaum Protestan pada abad keenambelas. Para tokoh-tokoh reformasi seperti Martin Luther dan John Calvin sama anti-nya, kalau tidak boleh dibilang lebih, dengan para pendahulu mereka seribu tahun sebelumnya. Perhatian para reforman ini lebih tercurah kepada apa yang mereka rasakan sebagai penyelewengan dan penyalah-gunaan kekuasaan dalam Gereja (Katholik). Mereka tidak berkeinginan untuk membawa Gereja kembali kepada kepercayaan Yahudi Messianis berbasiskan Taurat seperti yang dianut Yeshua dan para rasul. Luther pada mulanya mencoba merangkul orang Yahudi (saat ia menulis buku That Jesus was Born a Jew) dengan harapan mereka akan mendukung gerakan reformasinya itu, tetapi setelah melihat tidak ada respon dari mereka, maka Luther berbalik menjadi begitu benci terhadap orang Yahudi. Tulisan-tulisan Martin Luther ini adalah bacaan kesukaan Adolf Hitler, yang memperoleh banyak ide dari sana bagaimana cara menangani orang-orang Yahudi. (Martin Luther dalam bukunya On The Jews and Their Lies (1543) memerintahkan penganiayaan terhadap orang Yahudi, termasuk di dalamnya: membakar sinagoga mereka sampai rata, menghancurkan rumah mereka, menyita kitab Talmud dan buku-buku doa, membunuh para rabbi yang menolak untuk berhenti mengajar, menghalangi hak mereka untuk melakukan perjalanan, dan menempatkan mereka ke dalam kamp-kamp terkonsentrasi (ghetto). Hitler menuruti saran-saran Luther ini dengan baik sekali.)

Penting untuk dimengerti bahwa:

Sikap anti-Yahudi dan anti-Taurat dari para Bapa Gereja dan kelak dari para tokoh reformasi Protestan telah menjadi dasar bagi seluruh opini Kristen (Katholik dan Protestan) sampai kepada hari ini. Semua penafsiran Alkitab yang berasal dari para pengajar Kristen, pendeta atau lembaga, termasuk setiap terjemahan Alkitab yang ada, buku-buku Kristen, renungan harian, khotbah di hari Minggu, film-film dan kurikulum di sekolah-sekolah tinggi teologia, telah dihasilkan menurut doktrin dari orang-orang ini dan dari kesalahan yang terkumpul selama beratus-ratus tahun.