Sabtu, 06 Februari 2021

Kitab Suci Agama Khonghucu


Kitab Suci Agama Khonghucu

Kitab suci agama Konghucu sampai pada bentuknya yang sekarang mengalami perkembangan yang sangat panjang. Kitab suci yang tertua berasal dari Yao (2357-2255 SM) atau bahkan bisa dikatakan sejak Fu Xi (30 abad SM).

Yang termuda ditulis cicit murid Kongzi, Mengzi (wafat 289 SM), yang menjabarkan dan meluruskan ajaran Kongzi, yang waktu itu banyak diselewengkan.

Kitab suci yang berasal dari Nabi Purba sebelum Kongzi, ditambah Chunqiujing (Kitab atau Catatan Jaman Cun Ciu/ Musim Semi dan Musim Rontok) yang ditulis sendiri oleh Kongzi, sesuai dengan wahyu Tian, kemudian dihimpun Kongzi dalam sebuah Kitab yang disebut Wujing. Beberapa saat sebelum wafat, Nabi Kongzi mempersembahkan 五 經 Wujing dalam persembahyangan kepada Tian.

五 經 Wujing, Five Classics 
(The Five Books of Old Testaments)

詩經 Shijing 
(Kitab Sanjak)

Kitab Sanjak ini semuanya ditulis dalam bentuk puisi, nyanyian religi, puji-pujian akan keagungan Tian dan nyanyian untuk upacara di istana. Isinya ada empat bagian yaitu:

Guo Feng (国风), berisi nyanyian rakyat tentang berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Antara lain, tentang cinta antara remaja, dan hubungan orang dalam keluarga.

Xiao Ya (小雅), berisi kritik terhadap pejabat dan birokrasi pemerintah. Juga berisi keluhan rakyat akibat tingkah laku pejabat yang tidak adil dan tidak pandai.

Da Ya (大雅), berisi pujian kepada raja Wen Wang karena dia telah membebaskan rakyat dari cengkraman raja Zhou Xin yang jahat dari dinasti Shang.


Song (颂), berisi lagu-lagu untuk mengiringi upacara-upacara suci, yaitu lagu pujian kepada Tuhan.

書經 Shujing 
(Kitab Dokumentasi Sejarah Suci)

Kitab ini berisi 30 maklumat para Raja zaman purba, mulai Raja Yao (2356–2255 SM) sampai dengan Maklumat Pangeran Negeri Qin (Qin Mu Gong, 569 – 620 SM). Isi maklumat itu bermacam-macam, antara lain tentang pengangkatan raja baru dengan menyebutkan alasan raja baru itu diangkat. Isinya juga tentang putusan raja menghukum seorang menteri dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan seorang menteri. Tentang penggantian raja yang tidak menjalankan tugas dengan keterangan dan alasan yang cukup untuk menggulingkannya. Dalam tiap maklumat raja tersebut ditambah dengan nasihat-nasihat bagi para menteri agar dapat menjalankan tugas dengan baik. Sebelum maklumat itu dituliskan, selalu ada pengantarnya yang menceritakan latar belakang sejarah terjadinya peristiwa atau perlunya maklumat itu diumumkan.

Pada intinya maklumat ini adalah ajaran moral bagi para raja dan pejabat di Tiongkok waktu itu. Xun Zi menganjurkan supaya penganut Khonghucu mempelajari kitab ini. Dia bermaksud supaya kitab ini menjadi bahan referensi untuk memperluas pemikiran orang Tiongkok.

Peristiwa yang dijelaskan dalam Kitab Dokumen Sejarah ini adalah peristiwa sejarah, bukan rekaan. Orang zaman kapan saja dapat melihat zaman masa lalu dan belajar dari masa lalu. Ilmu sejarah selalu penting untuk dipelajari para negarawan di semua negara di dunia ini. Politisi yang tidak menguasai ilmu sejarah tidak dapat memimpin rakyatnya mencapai kesejahteraan hidup. Kitab Sejarah ini amat penting bagi cendekiawan Khonghucu.

易經 Yijing 
(Kitab Perubahan)

Berisi tentang penjadian alam semesta, sehingga mereka yang menghayati Kitab ini akan mampu menyibak takbir kuasa Tian dengan segala aspeknya.Kitab ini tidak menjadi sasaran kemarahan kaisar Qin Shi Huang Di karena dipandang sebagai buku mistik. Kitab tersebut berisi simbol berwujud hexagram yang jumlahnya 64. Simbol hexagram itu menjelaskan terjadinya perubahan alam dan nasib manusia. Hexagram itu sebenarnya bentuk logika silogisme berantai dengan enam premis, dan konklusinya adalah komentar yang diuraikan oleh Nabi Kongzi. Yi Jing ini sudah ada ribuan tahun sebelum Nabi Kongzi lahir, oleh Nabi Kongzi kitab tersebut dipelajari, disusun, dan diberi penjelasan agar para muridnya mempunyai pedoman berpikir.

Isi kitab Yi Jing itu di kemudian hari juga dipelajari oleh para ahli matematika Tiongkok untuk mengembangkan ilmu matematika. Kitab Yi Jing ini menjadi sangat populer setelah dikembangkan oleh Dong Zhong Shu dan Yang Xiong sebagai dasar kosmologi Khonghucu. Uraian kosmologi itu dilanjutkan menjadi ilmu meramal dan ilmu Feng Shui oleh masyarakat Tionghua.

Isi kitab Yi Jing ini memberi pentunjuk atau nasihat yang sangat berguna bagi orang yang akan memperbaiki nasib. Petunjuk tersebut apabila dilaksanakan dengan hati tulus dan bertindak benar akan bermanfaat. Sebaliknya, bagi orang yang memahaminya sebagai ajaran tahayul untuk manipulasi nasib akan kecewa.

Menurut kitab Yi Jing, nasib manusia akan berubah menjadi baik apabila jalan hidupnya tidak berlawanan dengan Tian Dao atau Jalan Suci Tuhan, juga tidak berlawanan dengan hukum alam atau Di Dao, dan tidak berlawanan dengan Jalan Suci kemanusiaan atau Di Dao.

禮經 Lijing 
(Kitab Kesusilaan)

Berisi aturan dan pokok-pokok kesusilaan dan peribadahan.Kitab ini cukup tebal, isinya menyangkut berbagai masalah yang sangat luas, antara lain, tentang aturan upacara sembahyang kepada Tuhan dan arwah. Buku ini menjelaskan perlengkapan upacara, dengan pakaian upacara, jumlah peserta upacara, macam-macam sesajinya, dan cara menyajikannya. Buku ini juga berisi nasihat-nasihat yang berharga tentang makna hidup dari Nabi Kongzi. Dalam kitab ini dituliskan berbagai komentar dari Nabi Kongzi tentang masalah-masalah moral dan kesusilaan, di dalamnya juga banyak kutipan dari Kitab Sejarah dan Kitab Klasik yang lain.

Kitab Li Ji ini ditulis oleh murid-murid Nabi Kongzi, dan ada kemungkinan setelah dituliskan kembali ada bagian yang ditulis oleh pengikut Meng Zi dan pengikut Xun Zi. Kitab ini ditulis kembali pada zaman dinasti Han. Aslinya sudah terbakar pada zaman dinasti Qin. Yang menuliskan kembali adalah pengikut Meng Zi dan Xun Zi yang saat itu belum terpisah. Banyak ahli sejarah yang berprasangka bahwa yang dituliskan kembali sudah disesuaikan dengan pikiran penulis zaman dinasti Han ini.

Kitab Kesusilaan ini isinya sangat bagus karena banyak analisis yang mendalam tentang upacara kematian. Kitab ini juga menjelaskan sikap yang perlu dipatuhi oleh orang-orang yang ikut upacara penguburan itu. Di sini juga dibahas makna hidup dan makna kematian, dikaitkan dengan sabda para raja suci (nabi purba). Pembahasan masalah moral dan kesusilaan dalam kitab ini disampaikan dengan cerita dan dialog antara tokoh-tokoh ceritanya itu. Penulisan cara ini dimaksudkan tidak mendikte atau memaksa para pembacanya untuk menerima pemikiran para nabi purba itu.

Xun Zi menganjurkan penganut Khonghucu mempelajari Kitab Kesusilaan ini. Xun Zi berharap supaya pembaca terbuka pemikirannya. Orang Konfusian tidak mudah menerima atau menolak pemikiran orang lain, tetapi perlu mempertimbangkan dengan masak sebelum menolak atau menerima pemikiran orang lain. Orang Konfusian diharapkan oleh Xun Zi berpikir kritis dengan berpegang pada prinsip konstruktif positif, tidak fanatik, dan tidak menganggap pendapatnya paling benar. Orang Konfusian selalu bersedia belajar kepada orang lain, yang baik dilaksanakan, yang tidak baik disimpan untuk diperbaiki, baru kemudian dilaksanakan.

春秋經 Chunqiujing 
(Kitab Musim Semi dan Gugur)

Kitab ini menceritakan sejarah kerajaan negeri Lu, yaitu negeri kelahiran Nabi Kongzi. Menurut pendapat ahli sejarah, kitab ini ditulis sendiri oleh Nabi Kongzi. Isinya adalah analisis kata-kata dan sebutan yang pemakaiannya dikacaukan oleh para raja muda. Para raja muda itu sengaja mengacaukan penggunaan kata karena ingin merebut kekuasaan. Contohnya, seorang bangsawan yang gelarnya rendah yaitu zu (族), tetapi dia mengubah gelarnya menjadi raja atau wang (王).

Perilaku raja yang mengelabui rakyat ini sangat ditentang oleh Nabi Kongzi. Apabila semua ini dibiarkan, akibatnya generasi yang akan datang menjadi bingung dan negara Tiongkok tidak dapat disatukan lagi. Kitab Sejarah yang ditulis oleh Nabi Kongzi tersebut dimulai tahun 722 SM. yaitu tahun pangeran Lu Yin Gong menjadi raja muda di negeri Lu, hingga tahun 481 SM saat Nabi Kongzi melihat hewan Kilin dibunuh oleh pangeran Lu Ai Gong (鲁哀公), yaitu menjelang wafat Nabi Kongzi.

四書 Si Shu 
(Kitab Suci Yang Empat)

Pada zaman dinasti Song, abad XII, seorang tokoh Neo-Konfusianisme menulis buku Si Shu yang mengambil dari Kitab Li Ji dan tulisan Meng Zi. Kitab Si Shu ini menjadi tambahan dari kitab Suci agama Khonghucu. Kitab Si Shu tersebut terdiri dari:

大學 Daxue (Ajaran Agung/Besar)
Berisi bimbingan dan ajaran pembinaan diri, keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Daxue ditulis oleh Zengzi atau Zengshen, murid Kongzi dari angkatan muda.

中庸 Zhongyong (Tengah Sempurna)
Berisi ajaran keimanan Agama Khonghucu. Zhongyong ditulis oleh Zisi atau Kongji, cucu Kongzi.

論語 Lunyu (Sabda Suci)
Berisi percakapan Kongzi dengan murid-muridnya. Kitab ini dibukukan oleh beberapa murid utama Kongzi, yang waktu itu berjumlah 3.000 murid, dimana 72 orang diantaranya tergolong murid utama.

孟子 Kitab Mengzi
Ditulis oleh Mengzi, berisi mengenai peristiwa dalam kehidupan dan nasihat-nasihat dari Mengzi.

Kitab Si Shu ini menjadi bagian dari Kitab Suci agama Khonghucu karena sumbernya adalah Kitab Wu Jing dan ditambah tulisan Meng Zi. Sumber ajaran agama Khonghucu hanya sampai pada tulisan Meng Zi. Tulisan tentang agama Khonghucu setelah tulisan Meng Zi tidak dianggap sebagai sumber resmi agama Khonghucu. Artinya, semua tulisan tentang agama Khonghucu acuannya sudah ditetapkan yaitu Wu Jing dan Si Shu sebagai Kitab Suci agama Khonghucu.

SUMBER

Selasa, 02 Februari 2021

Kitab Veda (Sumber Ajaran Hindu)

KITAB VEDA

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Veda (Weda), yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Veda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Veda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Veda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Veda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.


BAHASA VEDA (WEDA)

Bahasa yang dipergunakan dalam Veda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.

Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.


WEDA SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA HINDU

Satu-satunya pemikiran yang secara tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Veda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu maka ajaran Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkan (mewahyukan) adalah Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran-Nya kepada umat manusia adalah ajaran suci terlebih lagi bahwa isinya itu memberikan petunjuk atau ajaran untuk hidup suci.

Sebagai kitab suci, Veda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Veda (Sruti) mengalirlah ajaran Veda pada kitab-kitab Smrti, Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang kita warisi di Indonesia. Swami Sivananda menyatakan : ”Veda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua agama berasal dari Veda dan akhirnya kembali pada Veda. Veda adalah sumber ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Veda diwahyukan pada permulaan adanya pengertia waktu”.

Veda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti. Veda menuntun tindakan umat manusia sejak lahir sampai pada nafasnya yang terakhir. Veda tidak terbatas pada tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat. Bagaimana hendaknya masyarakat bersikap dan bertindak, tugas-tugas aparatur pemerintah melaksanakan tugasnya, bagaimana tingkah laku seorang ibu. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita terhimpun dalam kitab suci Veda.kita miliki adalah yang mengatakan


PEMBAGIAN DAN ISI VEDA

Veda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Veda Sruti dan Veda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Veda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smrti isinya bersumber dari Veda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smrti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.


Weda khilo dharma mulam

smrti sile ca tad widam,

acarasca iwa sadhunam

atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).


Artinya:

Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).


Srutir wedah samakhyato

dharmasastram tu wai smrth,

te sarwatheswam imamsye

tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).


Artinya:

Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.

Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smrti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smrti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.


BAGIAN–BAGIAN WEDA

 

1. SRUTI

Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

Rg. Weda atau Rg Weda Samhita. Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.

Sama Weda Samhita. Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.

Yajur Weda Samhita. Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

Atharwa Weda Samhita. Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.

Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam RgVeda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu RgVeda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharva veda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad. Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.


2. SMRTI

Smrti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi.

Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.


A. Kelompok Wedangga; Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:

Siksa (Phonetika). Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.

Wyakarana (Tata Bahasa). Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.

Chanda (Lagu). Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.

Nirukta. Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.

Jyotisa (Astronomi). Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.

Kalpa. Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.


B. Kelompok Upaweda; Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:


(1). Itihasa

Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.

Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata “Iti”, “ha” dan “asa” artinya adalah “sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya”) maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.

Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.


(2). Purana

Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.


(3) Arthasastra

Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.


(4) Ayur Weda

Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.

Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.


(5) Gandharwa Weda

Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad.


WEDA SEBAGAI WAHYU DARI TUHAN YANG MAHA ESA

Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang datang kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa yang disebut juga Jambhudvìpa.

Kata Sanàtana Dharma berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama asli dari agama ini masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).

Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu. Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya). Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda, 1988: 4)

Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda, 1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka (Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran Veda, bukan dalam pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).

Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.

Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti) yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla (yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah) dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber ajaran Hindu yang kedudukannya lebih tinggi.


SAPTA RSI PENERIMA WAHYU WEDA

Sapta resi adalah tujuh Rsi. Sapta artinya tujuh dan resi artinva Pendeta. Sapta resi ini termasuk golongan Wipra yang dianggap sebagai Nabi pènerima Wahyu yang pertama didalam Weda (Rg. Weda).

Istilah resi tidak sama artinya dengan Pendeta, walaupun kadang-kadang diartikan demikian seperti terdapat dibeberapa daerah.

Seorang resi mempunyai sifat-sifat tertentu dan jabatan tertentu. Ia adalah pendeta dan juga adalah sasterawan. Ia adalah Nabi. Jadi sukarlah untuk mengatakan kedudukan Resi yang sebenarnya, sedangkan dewasa ini Rsi adalah pendeta. Oleh karena itu untuk membedakan arti kata Resi sekarang dengan Resi jaman dahulu biasanya digunakan istilah Maha Resi, yang artinya Resi yang agung dan utama melebihi Resi-resi yang lainnya.

Dalam hubungan ini Ia adalah Nabi dan ialah yang menerima Wahyu. Tujuh Resi ini merupakan Resi-resi yang paling banyak disebutkan namanya. baik sebagai Nabi maupun Sasterawan. Ketujuh itu merupakan kelompok-kelompok keluarga. Daripadanyalah semua sloka-sloka yang terdapat di dalam weda ini dianggap sebagai sumbernya sebab dialah yang menerima pertama kali melalui Dewa Brahma sebagai Malaikat yang menyampaikan sloka itu.


Adapun ketujuh keluarga Maha Resi itu adalah:

Grtsamada

Wiswamitra

Wamadewa

Atri

Bharadwaja

Wasistha

Kanwa

Untuk mengetahui kedudukan serta peranan dan ketujuh Maha Resi itu dalam rangkaian turunnya Wahyu itu, berikut ini akan kami uraikan masing-masing dan mereka sebagai berikut


GRTSAMADA

Maha Resi Grtsamada adalah maha Resi yang dihubungkan turunnya sloka-sloka Weda, Rg. Weda, terutama mandala II. Hanya sayangnya sejarah kehidupan Maha Resi Grtsamada tidak banyak diketahui. Dari beberapa cukilan kita ketahui bahwa beliau adalah keturunan dari Sunahotra dari keluarga Angira. Anehnya didalam catatan lainnya kita jumpai bahwa Grtsamada lahir dari keluarga Bhrgu sehingga dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa nama Grtsamada sejarahnya tidak dapat diketahui dengan pasti. Beliau dikatakan putra Senaka, salah seorang Maha Resi terkenal pula pada zaman itu. Bahkan didalam kitab Mahabharata terdapat cerita yang menyebutkan bagaimana Maha Resi Senaka merupakan Maha Resi terhormat dalam sejarah Hindu. Grtsamada adalah keturunan dari Senaka yang terkenal ini.Adapun Sunahotra dikatakan juga kelompok keluarga Bharadwaja keluarga mana juga terkenal sebagai Maha Resi penerima Wahyu.

Dari uraian ini ada tanda-tanda yang membuktikan bahwa Grtsamada adalah anggota keluarga yang sama dengan Maha Resi Bharadwaja yang kemudian banyak dihubungkan dengan nama-nama Bhagawan Bhrgu. Keluarga Bhrgu ini adalah keluarga yang namanya banyak disebut-sebut. Dari Grtsamada lahir putra bernama Kurma. Lebih dari pada itu tentang cerita keluarga ini tidak banyak diketahui kecuali dikatakan bahwa ada pula terdapat sloka-sloka yang diturunkan melalui Putra-putra beliau.


WISWAMITRA

Wiswamitra adalah Maha Resi yang kedua yang banyak disebut-sebut. Dan catatan yang ada diduga beliau menerima Wahyu yang kemudian dihimpun dalam Weda. Seluruh mandala III diduga berasal dari keluarga Maha Resi Wiswamitra.

Kitab mandala III ini terdiri atas yang terdiri atas beberapa pasal. Ada pula yang mengatakan bahwa diantara pasal-pasal itu diturunkan melalui Kusika putra dan Maha Rsi Isiratha. Cerita lain mengemukakan bahwa Wiswamitra adalah putra Musika. Karena itu dapat diduga bahwa sloka-sloka Weda mandala II ini ada yang diturunkan sebelum Wiswamitra yang kemudian oleh Wiswamitra menggabungkannya dengan sloka-sloka yang diterima olehnya dalam satu mandala.

Hubungan antara ketiga nama ini menunjukkan bahwa antara Isiratha dan Wiswamitra adalah satu keluarga. Ada pembuktian lain yang menunjukkan adanya sloka-sloka yang telah diturunkan melalui Prajapati sedangkan Prajapati dikatakan putra dan Wiswamitra. Sayangnya seluruh sloka-sloka keluarga Wiswamitra tidak banyak diketahui. Kalau kita perhatikan dua sukta terakhir ada petunjuk yang menunjukkan bahwa mantra-mantra itu diturunkan melalui Maha Resi Yamadagni, sedangkan hubungan antara Maha Resi Yamadagni dengan maha Resi Wiswamitra tidak banyak diketahui, sehingga sulit untuk memastikannya. Hal lain yang perlu diketahui tentang Wiswamitra ialah sehubungan dengan kedudukan Wiswamitra bukan sebagai Brahmana, tetapi sebagài Kesatria atau golongan penguaasa yang kemudian terkenal sebagai Maha Resi. Dalam sejarah agama Hindu nama Wiswamitra banyak disebut-sebut.


WAMADEWA

Wamadewa dihubungkan dengan sloka-sloka dalam Mandala IV didalam sloka-sloka Rg. Weda itu. Hanya sayang riwayat hidup Wamadewa banyak diketahui. Hampir semua mantra-mantra yang terdapat dimandala IV dikatakan diterin oleh Wamadewa. Hanya dinyatakan salah satu dari pada mantra yang terpenting yaitu Gayatri tidak terdapat didalam mandala IV tetapi diletakkan di Mandala III.

Didalam cerita dikatakan bahwa Malia Resi Wamadewa telah mencapai penerangan sempurna sejak masih berada dalam kandungan ibunya. Diceriterakan bahwa semasih dalam kandungan Wamadewa berdialog dengan malaekat Indra dan Aditi. Rupanya ceritera tentang dialog ini dihubungkan dengan kedudukan Wamadewa yang telah dianggap mencapai kesucian, sehingga Wamadewa dilahirkan tidak melalui saluran biasa. Hanya itulah ceritera yang kita peroleh tentang Wamadewa sebagai Maha Resi.


ATRI

Maha Resi Atri banyak dirangkaikan dengan turunnya sloka-sloka yang dihimpun dalam Mandala V. Tetapi sebagai Maha Resi, Atri tidak banyak dikenal. Ada banyak dugaan yang membuktikan bahwa nama Atri dan keluarganya banyak dirangkaikan dengan turunnya wahyu-wahyu. Nama Atri juga dihubungkan dengan keluarga Angira.

Nama-nama yang banyak disebutkan didalam Mandala ini adalah, Dharuna, Prabhuwasu, Samwarana, Ghaurawiti. Putra Sakti dan Samwarana, putra Prájapati. Didalam mandala ini terdapat 87 Sukta. Däri 87 ini 14 sukta diturunkan melalui Atri sedangkan Lainnya diturunkan melalui keluara Atri Dalam catatan yang ada, anggota keluarga Atri yang dianggap sebagai penerima Wahyu.


BHARADWAJA

Mandala VI tergolong himpunan sloka-sloka yang diturunkan melalui Maha Resi Bharadawja. Buku ini memuat 75 sukta.

Menurut otensitasnya tampaknya lebih tua dari buku yang ke V, tetapi dalam urutan ditetapkan sesudah buku ke V.Hampir seluruh isi mandala VI ini dikatakan kumpulan dari Bharadwaja, hanya sedikit saja yang diduga turun dari keluarganya, antara lain disebut nama Sahotra dan Sarahotra.Nama-nama lainnya seperti Nara, Gargarjiswa, yang merupakan keluarga dari Bharadwaja termasuk pula sebagai penerima wahyu.

Diceriterakan Bharadwaja adalah putra Brhaspati. Akan tetapi kebenaran tentang cerita ini belum dapat dipastikan, karena disamping nama Bharadwaja terdapat pula nama Samyu yang dianggap sebagai putra Brhaspati, sedangkan hubungan antara Samyu dan Bharadwaja tidak diketahui.


WASISTA

Seluruh buku ke VII dianggap merupakan himpunan yang diturunkan melalui Maha Resi Wasista, atau keluarganya. Putra Maha Resi Wasista bernama Sakti. Dari catatan yang ada seperempat dari mandala VII diturunkan melalui putranya. Tentang keluarga Wasista tidak banyak kita kenal. Didalam Mahabharata nama Wasista sama terkenalnya dengan Wiswamitra. Didalam ceritera itu Maha Resi Wasista bertempat tinggal di hutan, “KAMYAKA” ditepi sungai Saraswati.


KANWA

Maha Resi Kanwa merupakan Maha Resi yang ke 7 yang banyak disebut-sebut namanya. Maha Resi ini dianggap penerima wahyu yang dihimpun kemudian yang merupakan buku yang ke VIII yang isinya macam-macam.

Buku ke VIII ini sebagian besar memuat sloka-sloka yang diturunkan melalui keluarga Kanwa sedangkan Maha Resi Kanwa sendiri menerima sebagian kecil saja. Maha Resi Kanwa inilah yang ceriteranya hanyak disebut-sebut didalam kisah cintanya Sakuntala, sebagaimana diceriterakan sastrawan Kalidasa. Disamping nama Kanwa terdapat pula Bhagawan Kasyapa putra Maha Resi Marici. Maha Resi Kanwa sendiri berputra Praskanwa. Disamping sloka-sloka yang seolah-olah tiap-tiap mandala itu merupakan kelompok sendiri, yang sulit ditentukan adalah mandala-mandalanya. Disamping itu masih ada banyak nama-nama yang dihubungkan dengan Mandala VIII ini seperti Gosukti, Aswasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu Waiwasa Nipatithi dsbnya.


WEDA SEBAGAI SUMBER HUKUM HINDU

Sumber asal Hukum yaitu peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana hidup yang serasi. berdaya guna dan tertib Hukum ini ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang.

Manusia dalam pergaulan mereka, didalam menjalankan kehidupan mereka diatur oleh UU yang dibuat oleh lembaga pembuat UU. dibikin oleh manusia karena itu UU. adalah buatan manusia. Disamping UU. itu ada pula UU. yang bersifat murni, yaitu UU. yang dibuat oleh Tuhan juga disebut Wahyu Tuhan. Wahyu inilah yang dihimpun dan dikodifikasi menjadi “KITAB SUCI”. Jadi kitab suci adalah semacam UU yang pembuatnya adalah Tuhan, bukan manusia (apauruseya).

Didalam negara, UU. dari semua UU. disebut UUD. UUD. Itu mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari UUD. itu dibuat UU. Pokoknya. Seperti halnya dengan UUD. itu, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terperinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam kitab suci itu. Tingkah laku manusia baik yang menjadi tujuan didalam pengaturan kehidupan ini disebut Dharmika adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (Dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (Dharma), artinya tidak bertentangan dengan UU yang menguasainya. Dalam hal ini bagi umat beragarna yang juga merupakan warga Negara mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum yaitu:

Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti UUD, UUP, UU dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai menurut agamanya. Bagi umat Hindu atau kelompok masyarakat yang beragama Hindu maka kitab suci yang menjadi sumber hukurn bagi mereka adalah Weda. Ketentuan mengenai Weda sebagai sumber hukum dinyatakan dengan tegas didalam berbagai kitab suci, antara lain:


a. MDs. II. 6. Weda’khilo dharma mulam smrti sile ca tad widäm, acãrasca iwa

sadhunama atmanastustirewaca.

Manawadharmacastra.

Artinya :

Seluruh Weda merupakan sumber utama dan pada dharma 1) (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti disamping Sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dan orang-orang yang menghayati Weda) dan kemudian acara tradisi-tradisi dan orang-orang suci) serta akhirnya atmanastusti (rasa puas diri sendiri). Dari pasal ini, kita mengenal sumber-sumber buku sesuai urut-urutannya adalah seperti istilah berikut:1. Weda, 2. Smrti, 3. Sila, 4. Acara (Sadacara) dan, 5. Atmanastusti.


Untuk lebih menegaskan tentang kedudukannya sumber-sumber hukum itu.

Weda sebagai sumber hukum bersifat memaksa.

Ketentuan-ketentuan yang menggariskan Weda sebagai sumber hukum, bersifat memaksa dan mutlak karena didalam Manawadharmaastra dinyatakan sehagai berikut :


Kămătmată na prasastă na cai wehăstya kamata, kãmyohi wedădhigamah karmayogasca waidikah.

Manawadharmacastra a). M. Ds. II. 2

Artinya :

Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dan mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda.


Tesu samyang warttamăno gacchatya maralokatam, yathă samkalpitămcceha sarwăn kámăn samasnute.

Manawadharmacastra b). M. Ds. II. 2

Artinya :

Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan.


Masih beberapa pasal yang menekankan pentingnya Weda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat didalam membina masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan itu penghayatan Weda bersifat penting karena bermanfaat bukan saja kepada orang itu tetapi juga kepada yang akan dibinanya. Karena itu Weda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan dan sebagai ilmu.

Dengan mengutip beberapa pasal yang relatif penting artinya dalam menghayati Weda itu, kiranya akan jelas mengapa Weda, baik Sruti maupun Smrti sangat penting sekali artinya. Kebajikan dan kebahagiaan adalah karena Dharma berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi kakekat dan tujuan dari pada weda itu.


ENAM FILSAFAT HINDU

Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Kelompok Nastika umumnya kelompok yang lahir ketika Hindu masih berbentuk ajaran Weda dan kitab Weda belum tergenapi. Hindu baru muncul selah adanya kelompok Astika. Kedua kelompok tersebut antara Astika dan Nastika merupakan kelompok yang sangat berbeda (Nastika bukanlah Hindu).

Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti “sejarah kuno” atau “cerita kuno”. Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:


Matsyapurana

Wisnupurana

Bhagawatapurana

Warahapurana

Wamanapurana

Markandeyapurana

Bayupurana

Agnipurana

Naradapurana

Garudapurana

Linggapurana

Padmapurana

Skandapurana

Bhawisyapurana

Brahmapurana

Brahmandapurana

Brahmawaiwartapurana

Kurmapurana

Memang, masih menjadi paradigma yang kuat dalam pikiran orang, bahkan orang Hindu sendiri, bahwa Weda dan Purana hanya berisi epos dan mitologi. Ambillah contoh kitab Bhagavadgita. Bhagavad-gita berisi wejangan rohani yang disampaikan oleh Sri Krishna kepada Arjuna menjelang berlangsungnya perang Bharata Yudha, yang konon terjadi sekitar lima ribu tahun yang lalu. Kita semua tahu bahwa Bhagavad-gita sebenarnya adalah bagian dari Bhisma Parwa, salah satu diantara 18 Parwa kitab Mahabharata. Sri Krishna, Arjuna, beserta para Pandawa adalah tokoh-tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Tetapi dalam anggapan sebagian besar masyarakat Hindu sekalipun, Mahabharata tidak lebih daripada sekedar sebuah epos, cerita kepahlawanan yang dikarang oleh Rsi Vyasa. Ketika kita jelaskan bahwa tempat-tempat yang disebutkan dalam kitab Mahabharata saat ini masih bisa kita telusuri lokasinya, orang masih akan menyangkal dan meragukan penjelasan itu. Menurut mereka, Rsi Vyasa terinspirasi oleh nama-nama tempat itu, lantas mengarang cerita fiksi, yang mengambil nama-nama seperti Hastinapura. (sekarang New Delhi), Dwaraka, dan lain-lain sebagai latar atau setting terjadinya kisah dalam Mahabharata.

Apalagi, dalam masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, Krishna dan Arjuna dikenal sekedar sebagai tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Bahkan, ada orang Jawa yang akan marah besar, kalau dikatakan bahwa Mahabharata berasal dari India. Mereka meyakini bahwa kisah Mahabharata terjadi di Jawa, dibuktikan dengan adanya nama nama tempat dan gunung di Indonesia yang diberi nama Arjuna, Bima, dan lain-lain. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita pewayangan telah menjadi filosofi hidup bagi sebagian besar orang jawa. Karena itu, kalau kita katakan perang Mahabharata betul-betul terjadi dalam sejarah, mereka menyangsikan kebenarannya.


PENGERTIAN MITOLOGI

Apa sebenarnya arti kata mitos atau mitologi? Kata mitologi, diadaptasi dari bahasa Inggris “myth”. Dalam kamus Webster New World College Dictionary 3rd Edition, kata “myth” diartikan sebagai : “1) any fictitious story; or unscientific account, theory,belief,etc 2) any imaginary persons or thing spoken as though existing”. Artinya : 1) sembarang kisah atau cerita fiksi (tidak nyata/hayalan/dongeng); atau kejadian, teori dan kepercayaan dan lain-lain yang tidak bersifat ilmiah. 2) sembarang orang atau sesuatu yang dianggap seolah-olah benar-benar ada.

Jadi, menurut definisi di atas, kalau orang menyebut Mahabharata, atau Ramayana, sebagai mitologi atau mitos, itu berarti bahwa kedua kisah itu hanyalah sebuah dongeng, sebuah cerita fiksi, yang sebenarnya tidak pernah benar-benar terjadi di alam nyata. Bukankah secara ilmiah, tidak ada bukti-bukti kuat yang mendukung kebenaran kisah-kisah Purana itu? Bukankah itu juga berard uraian tentang dasa awatara (sepuluh awatara Wishnu) dalam Purana-Purana tidak lebih dari dongeng? Lantas, apakah dapat disimpulkan bahwa umat Hindu memuja Tuhan dan para dewa yang hanya ada dalam dongeng?


WEDA BUKAN MITOLOGI

Dari uraian di atas, jelas menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk paling tidak meyakinkan diri kita sendiri, sebelum meyakinkan orang lain, bahwa Weda khususnya Itihasa dan Purana, bukan sekedar mitologi. Bagaimana caranya?

Pertama, berhubungan dengan bukti-bukti ilmiah yang sering dianggap tidak memadai untuk mendukung kebenaran sejarah Weda. Dalam Weda, disebutkan bahwa ada berbagai metode atau cara yang dapat kita tempuh untuk mernperoleh pengetahuan. Salah satunya adalah pratyaksa, yang berarti persepsi langsung dengan mengandalkan indera kita sebagai alat utamanya. Metode kedua adalah anumana, yaitu pengambilan kesimpulan (inferensi). Metode yang lain disebut sabdha, atau mendengar dari sumber yang dibenarkan.

Dari ketiga metode itu, ilmu pengetahuan modern lebih didasarkan pada dua metode yang pertama, yaitu pratyaksa dan anumana. Sebaliknya, Weda lebih mendasarkan pada metode sabdha, mendengarkan dari penguasa atau sumber rohani. Yang dimaksud penguasa disini bukanlah sebuah rezim yang diktator atau pun seorang raja atau pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlak. Ambillah contoh sebuah buku, orang yang paling paham dengan maksud yang ada dalam buku itu, adalah sang penulis buku itu sendiri. Dalam hal. ini penulis itu disebut sebagai penguasa (author) bagi buku itu.

Untuk mendapatkan pengetahuan rohani atau spiritual, Weda menolak penggunaan metode pratyaksa dan anumana, Mengapa? Karena pratyaksa pramana mengandalkan pada kemampuan indera kita dalam menangkap atau memahami sesuatu. Sedangkan indera-indera kita jelas-jelas memiliki banyak kelemahan. Kita tidak bisa melihat benda yang terlalu dekat, atau benda yang terlalu jauh. Dalam ilmu fisika, banyak sekali dipelajari tentang kelemahan mata, telinga, dan kulit kita. Meskipun kemudian kita menciptakan alat-alat untuk membantu penglihatan dan pendengaran kita, akan tetapi jangan lupa bahwa alat-alat itupun kita buat dengan menggunakan indera yang tidak sempurna. Alat-alat itu digunakan oleh manusia yang inderanya tidak sempurna, dan dianalisa oleh orang yang inderanya tidak sempurna.

Setelah menyadari bahwa pratyaksa memiliki banyak kelemahan, para ilmuwan sekarang mengandalkan metode anumana, yang kadang mengarah pada spekulasi, interpolasi dan interpretasi untuk mengambil kesimpulan mengenai hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung oleh panca indera manusia.

Contoh nyata spekulasi itu adalah teori tentang penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang serba terbatas, dan hidup hanya di satu planet bumi ini. Ada jutaan planet di alam semesta ini, dan mungkin jutaan galaxy, yang kita tidak pernah mengetahuinya. Umur manusia pendek, hanya ratusan tahun, dan ilmu pengetahuan modern juga baru berkembang beberapa ratus tahun terakhir ini. Namun demikian, para ilmuwan itu telah berani dengan lantang menyatakan kepada kita, apa yang telah terjadi jutaan tahun yang lalu. Mereka menyimpulkan bahwa, alam semesta tercipta karena adanya sebuah ledakan atau dentuman besar yang disebut dengan Big Bang Theory. Bukankah tidak seorang ilmuwanpun yang hadir dan menyaksikan pada saat alam semesta tercipta? Kalau ada pihak-pihak yang meragukan atau mempertanyakan kebenaran teori itu, maka akan dilabeli dengan sebutan dogmatis, tidak ilmiah dan rasional, penganut agama yang fanatik, sentimentalis, dan sebagainya.


Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan


Sumber:

https://www.komangputra.com/weda.html

Rabu, 27 Januari 2021

MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN MUSHAF MADINAH

 DITULIS OLEH FAKHRUR ROZI PADA .

DUA PERBEDAAN PENULISAN RASM DALAM AL-QUR'AN CETAK

Dalam mushaf Al-Quran cetak yang beradar saat ini, kita mengenal dua sistem penulisan rasm Al-Qur'an yang lazim digunakan. Pertama, sistem penulisan dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i, yaitu penulisan kata sesuai dengan pelafalan atau bacaannya.

Namun, penting dicatat bahwa kata-kata yang sudah masyhur dan baku, seperti ar-rahman (الرحمن), as-salah (الصلوة), az-zakah (الزكوة), ar-riba (الربوا), dan beberapa kata lainnya, seperti zalika (ذلك), ha’ula’i (هؤلاء), maka penulisannya tetap sebagaimana tulisan yang masyhur, sehingga tidak berbeda dengan mushaf yang ditulis dengan rasm usmani.

Jadi, yang dituliskan dengan menggunakan rasm qiyasi ialah terhadap kata-kata yang tidak memiliki tulisan baku. Dengan kata lain, tidak ada satu pun Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i.

Kita ambil contoh, Al-Baqarah 2-3. Dalam kedua ayat ini yang ditulis dengan rasm qiyasi ialah (الكتاب) dan (رزقناهم) keduanya ditulis dengan alif setelah ta’ dan setelah nun. Sementara (ذلك) dan (الصلوة) tetap ditulis dengan tulisan yang masyhur yang sama dengan penulisan dengan rasm usmani.

Adapun mushaf yang ditulis dengan rasm qiyasi atau imla’i seperti Mushaf Turki, Mushaf Menara Kudus (Mushaf Turki), dan Mushaf Indonesia jenis Bahriyyah.

Kedua, sistem penulisan dengan rasm usmani, yaitu sistem penulisan Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditulis pada masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan, oleh tim yang dipimpin oleh Zaid bin Sabit. Penamaannya dengan rasm usmani adalah karena dinisbahkan kepada Khalifah Usman bin Affan sebagai khalifah yang memerintahkan penulisan kembali Al-Qur’an pada masa itu.

Dalam rasm usmani terdapat dua riwayat paling masyhur yang diikuti, yang dikenal dengan sebutan Syaikhani fi ‘ilm ar-Rasm al-‘Usmani (Dua ulama yang kredibel dalam ilmu rasm usmani) yaitu: (1) riwayat Abu ‘Amr Ad-Dani, yang lebih dikenal dengan Ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar, dan (2) riwayat Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang dikenal dengan Abu Dawud (w. 496 H.) dalam Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil.

Kebanyakan mushaf cetak yang beredar di dunia saat ini ditulis dengan menggunakan rasm usmani. Letak perbedaannya pada pilihan riwayat yang diikuti. Mushaf Indonesia, Libya, Bombay, dan Iran mengikuti riwayat Ad-Dani. Sementara mushaf Madinah, Mesir, dan beberapa negara lain yang merujuk kepada kedua negara ini, mengikuti riwayat Abu Dawud. [Ed: Bagus Punomo]


PERBANDINGAN MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN MUSHAF MADINAH

Apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam menetapkan mushaf standar Indonesia, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bukan tanpa dasar dan alasan. Di antara alasan penetapan tersebut adalah dalam rangka memudahkan masyarakat Indonesia yang memang bukan orang Arab untuk mengucapkan lafadz dan ayat Al-Qur’an yang notabene menggunakan Bahasa Arab. Faktor ‘azam inilah yang menjadi salah satu bahan masukan para ulama dalam merumuskan mushaf standar Indonesia. Bagi orang Arab, melafalkan ayat Al-Qur’an tentu akan lebih mudah karena menggunakan bahasa dan tulisan mereka sehari-hari, sementara masyarakat Indonesia tidak demikian.

Alasan untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam membaca Al-Qur’an seperti dijelaskan sebelumnya bukan sekadar diperkirakan atau diduga semata-mata, tapi dikukuhkan berdasarkan riset yang dilakukan peneliti LPMQ tahun 2013. Dalam penelitian tersebut terungkap, bahwa kecenderungan masyarakat dalam menggunakan mushaf standar Indonesia diantaranya adalah karena faktor kemudahan dalam membacanya. Kemudahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan membaca sesuai dengan kaidah tajwid, seperti ketika terjadi bacaan idgam, ikhfa, iqlab, bacaan panjang, dan beberapa kaidah bacaan tajwid lainnya.

Di Mushaf Madinah, ketika terjadi beberapa hukum bacaan tajwid pada ayat Al-Qur’an tidak ada tanda yang membantu bagaimana membaca dan membunyikannya. Sebagai contoh, pada lafdzul jalalah (lafadz Allah), Mushaf Madinah tidak mencantumkan fathah berdiri (fathah qaimah) pada lam yang memang harus dibaca panjang (dua harokat), sementara di mushaf standar Indoensia, lam pada lafadz Allah dibuat fathah berdiri agar dibaca panjang dua harakat. Tanda tersebut diberikan agar masyarakat Indonesia jangan sampai salah dalam memunyikan lafadz Allah. Orang Arab barangkali tidak perlu karena mereka sudah terbiasa membunyikan lafdz tersebut dengan lam yang dibaca panjang. Demikian halnya dengan hukum bacaan idgam, ikhfa, dan beberapa bacaan tajwid lainnya.

Mukernas Ulama Al-Qur’an dalam kaitan ini menetapkan sejumlah tanda baca pada Mushaf Standar Indonesia yang tidak ada pada msuhaf Saudi. Berikut adalah beberapa perbandingan perbedaan penulisan lafadz antara Mushaf Madinah dengan mushaf standar Indonesia;

 

Pada buku Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang ditulis oleh Zainal Arifin,dkk, dijelaskan 8 tanda, lambang yang secara prinsip dimaksudkan untuk membantu proses membaca teks Al-Qur’an agar tepat bacaan (qiraah)-nya sesuai hukum tajwid. Kedelapan tanda itu adalah,1) idgam, baik bi gunnahbi la gunnahmimiymutamasilainmutajanisain, maupun mutaqoribain, semuanya diberi tanda tasydid; 2) iqlab, dengan tanda mim kecil; 3) Mad wajib; 4) Mad jaiz; 5) Saktah; 6) imalah; 7) isymam; dan 8) Tashil.

Membaca Al-Qur’an yang baik dan benar memang harus menggunakan metode talaqi musyafahah, bertatap muka langsung dengan guru karena dengan talaqi inilah murid bisa mengetahui bagaimana membunyikan huruf sesuai dengan makhaj dan sifatnya, bagaimana membaca idgam, ikhfa dan hukum bacaan lainnya dengan benar. Namun demikian, tulisan juga memiliki peran yang signifikan bagi seorang dalam membunyikan lafadz sesuai dengan kaidah yang ada. Karena itulah mushaf Standar Indonesia menetapkan hal ini dan menjadi acuan bagi para penerbit dalam menerbitkan dan mencetak mushaf Al-Qur’an di Indonesia.

[Mustopa, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an]


Sumber:

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/386

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/329

Selasa, 05 Januari 2021

Sejarah Tipitaka (Kitab Suci Agama Buddha)

SEJARAH TIPITAKA





PENDAHULUAN

Sudah menjadi ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha adalah Tipitaka. Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan dalam kongres umat Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu itu dihadiri tujuh majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda dan Mahayana ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci Agama Buddha (Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).

Kitab Suci Tipitaka dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya PitakaSutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).

Selain yang berbahasa Pali (Tipitaka), ada juga kitab suci Agama Buddha yang menggunakan Bahasa Sansekerta, yaitu yang disebut Tripitaka, tetapi di antara kedua versi Pali dan Sansekerta itu pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pali) / Pali Canon ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi Agama Buddha mazhab Theravãda. 

SEJARAH TIPITAKA (ringkasan)

Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).

SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
·         Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan.
·         Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat.
·         Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
·         Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.

Tujuan Sidang:
·     Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.

·       Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Kesimpulan/Hasil Konsili I:
·         Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.

·         Mengadili Y.A. Ananda

·         Mengucilkan Chana

·         Agama Buddha masih utuh.

SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
  • Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
  • Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Vesali.
  • Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.

Tujuan Sidang:

·         Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).

Kesimpulan/Hasil Konsili II:

·         Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.

·         Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.

SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
  • Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
  • Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
  • Sidang diadakan di Pataliputta.
  • Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.

Tujuan Sidang:

·         Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.

·         Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).

·         Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.

Kesimpulan / Hasil Konsili III:

·         Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.

·         Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.

·         Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.

Keterangan:
·           Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
·           Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
  • Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
  • Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.

Tujuan Sidang:

·         Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.

Kesimpulan / Hasil Konsili IV:

·         Mengulang Tipitaka.

·         Menyempurnakan komentar Tipitaka.

·         Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.

Keterangan:

·           Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda. 


SEJARAH TIPITAKA (uraian)

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.

Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".

Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.

Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.

Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

SKEMA TIPITAKA




URAIAN SINGKAT TIPITAKA


Berikut ini akan diuraikan secara singkat bagian-bagian dari Kitab Suci Tipitaka Pali.

VINAYA PITAKA

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni yang terdiri atas 3 bagian:

1.     Sutta Vibhanga 
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari:

o    Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.

o    Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak. 

2.     Khandhaka 

Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga.

o    Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

o    Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu; kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali. 


3.     Parivara 

Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.



SUTTA PITAKA

Sutta Pitaka terdiri atas 5 kumpulan (nikaya) atau buku, yaitu:


1.     Digha Nikaya 
Merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang dan terbagi menjadi 3 vagga (Silakkhandhagga, Mahavagga, Patikavagga). Beberapa di antara Sutta-sutta yang terkenal adalah:

o    Bramajala Sutta: "Jala para Brahma" Sang Buddha bersabda bahwa Beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi 62 bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.

o    Samannaphala Sutta: "Pahala yang dimiliki oleh tiap pertapa". Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, Beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang Bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.

o    Ambattha Sutta: Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.

o    Kutadanta Sutta: Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.

o    Mahali Sutta: Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi dari pada ini adalah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.

o    Kassapasihanada Sutta: Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.

o    Tevijja Sutta: tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.

o    Mahapadana Sutta: Penjelasan Sang Buddha mengenai 6 orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.

o    Mahanidana Sutta: mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.

o    Mahaparinibbana Sutta: cerita tentang hati-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.

o    Sakkapanha Sutta: Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan 10 persoalan dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.

o    Maha Satipatthana Sutta: Khotbah mengenai 4 macam meditasi (mengenai badan jasmani, perasaan, pikiran dan Dhamma) disertai penjelasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Payasi Sutta: Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di surga dan melihat keadaannya.

o    Pitika Sutta: cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula banda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.

o    Cakkavattisihanada Sutta: cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta tentang Buddha Metteyya yang akan datang.

o    Aganna Sutta: perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.

o    Sampasadaniya Sutta: percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Sang Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.

o    Lakkhana Sutta: Penjelasan mengenai 32 tanda "Orang Besar" (Raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi 20 bagian; tiap bagian dimulai dengan "Disini dikatakan".

o    Sigalovada Sutta: Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu adalah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, guru, sahabat dan lain-lain).


2.     Majjhima Nikaya
Merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat khotbah-khotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta diantaranya adalah :

o    Mulapariyaya Sutta: pelajaran mengenai akar segala benda mulai dari unsur-unsur sampai Nibbana.

o    Satipatthana Sutta: sama dengan di Digha Nikaya, tetapi tanpa ulasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Kakacupama Sutta: "Tamsil Gergaji". Perihal tidak marah jika dihina. Seorang Bhikkhu yang marah seandainya anggota badannya digergaji satu demi satu bukanlah siswa Sang Buddha.

o    Alagaddupama Sutta : "Tamsil seekor ular air". Seorang Bhikkhu dimarahi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran. Mempelajari Dhamma secara tidak benar bagaikan manangkap seekor ular pada ekornya.

o    Cula Saccaka Sutta : diskusi umum antara Sang Buddha dan seorang Jain Saccaka mengenai lima khandha seseorang.

o    Maha Saccaka Sutta : mengenai perenungan atas nama dan rupa, dengan penjelasan oleh Sang Buddha tentang ia meninggalkan keduniawian, pengendalian nafsu dan penerangan sempurna.

o    Seleyyaka Sutta : khotbah kepada para Brahmana dari Sala mengenai sebab-sebab mengapa makhluk ada yang memasuki surga dan ada yang menuju neraka.

o    Vedalla Sutta (Maha dan Cula) : 2 khotbah dalam bentuk komentar atas istilah-istilah kejiwaan. Yang pertama oleh Sariputta kepada Mahakotthita dan yang kedua oleh Bhikkhuni Dhammadinna kepada upasaka Visakha.

o    Brahmanimantanika Sutta : Sang Buddha menceritakan kepada para Bhikkhu bagaimana Beliau pergi ke surga Brahma untuk memberi pelajaran kepada Baka, yakni salah satu penghuni surga, tentang ketidakbenaran pendapat tentang kekekalan.

o    Maratajjaniya Sutta: cerita tentang Mara yang menyelusup dalam perut Moggallana. Moggallana memerintahkan keluar dan memberikan pelajaran dengan mengingatkannya akan suatu masa ketika Moggallana sendiri terlahir sebagai Mara bernama Dusi dan Mara adalah kemenakannya.

o    Kandaraka Sutta: percakapan dengan Pessa dan Kandaraka dan khotbah tentang empat jenis orang.

o    Jivaka Sutta: Jivaka mengajukan pertanyaan apakah benar Sang Buddha menyetujui pembunuhan dan memakan daging. Sang Buddha menunjukkan dengan contoh bahwa itu tidak benar dan bahwa seorang bhikkhu makan daging hanya jika ia tidak melihat, mendengar dan menduga bahwa daging itu khusus dibuat untuknya.

o    Upali Sutta: cerita tentang Upali yang diutus oleh pemimpin Jaina Nataputta untuk berdebat dengan Sang Buddha, tetapi akhirnya menjadi pengikut.

o    Kukkuravatika Sutta: percakapan mengenai kamma antara Sang Buddha dengan dua orang pertapa, yang satu diantara mereka hidup seperti anjing dan satu lagi seprti lembu.

o    Abhayarajakumara Sutta: Pangeran Abhaya diutus oleh seorang Jain Nataputta untuk membantah Sang Buddha dengan megajukan pertanyaan berganda tentang kutukan hebat yang diterima oleh Devadatta.

o    Bahuvedaniya Sutta: mengenai penggolongan perasaan-perasaan dan perasaan tertinggi.

o    Maha Rahulovada Sutta: nasehat kepada Rahula tentang pemusatan pikiran dengan jalan menarik dan mengeluarkan napas serta memusatkan pikiran kepada unsur-unsur.

o    Ratthapala Sutta: cerita mengenai Ratthapala yang kedua orang tuanya tidak menyetujui ia memasuki Sangha dan membujuknya untuk kembali menjadi umat biasa.

o    Makhadeva Sutta: cerita mengenai Sang Buddha dalam kehidupannya di masa lampau sebagai Raja Makhadeva dan keturunannya sampai Raja Nimi.

o    Angulimala Sutta: cerita mengenai Angulimala, penyamun yang kemudian menjadi Bhikkhu.

o    Piyajatika Sutta: nasehat Sang Buddha kepada seorang laki-laki yang kehilangan anak dan pertengkaran antara Raja Pasenadi dan permaisurinya mengenai hal itu.

o    Brahmayu Sutta: mengenai 32 tanda pada tubuh Sang Buddha dan penerimaan Brahmana Brahmayu sebagai pengikut Buddha.

o    Sela Sutta: Pertapa Keniya mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk jamuan makan. Brahmana Sela melihat 32 tanda dan menjadi siswa. (Ini terdapat pula dalamSn III 7).

o    Vasettha Sutta: Khotbah yang sebagian besar dalam bentuk syair mengenai brahmana sejati, baik karena kelahiran maupun perbuatan (ini terdapat pula dalam Sn IIII 9).

o    Subha Sutta: mengenai soal apakah seseorang dapat berbuat kebaikan lebih banyak sebagai kepala keluarga atau dengan jalan meninggalkan keduniawian.

o    Isigili Sutta: Sang Buddha menjelaskan nama bukit Isigili dan menyebutnya nama-nama Pacceka Buddha yang dahulu tinggal di sana.

o    Maha Cattarisaka Sutta: penjelasan mengenai Jalan Mulia Beruas Delapan dengan tambahan mengenai pengetahuan yang benar dan emansipasi yang benar.

o    Anapanasati Sutta: perihal cara dan jasa melatih meditasi masuk dan keluarnya napas.

o    Kayagatasati Sutta: perihal cara dan jasa meditasi badan jasmani.

o    Cula Kammavibhanga Sutta: Sang Buddha menerangkan sifat-sifat batin dan jasmani orang yang berbeda-beda dan keberuntungan mereka menurut kamma.

o    Maha Kammavibhanga Sutta: seorang pertapa secara keliru menuduh bahwa Sang Buddha mengatakan kamma tidak berguna dan Sang Buddha menerangkan pandangannya sendiri.

o    Dhatuvibhanga Sutta: uraian mengenai unsur-unsur. Khotbah ini dimasukkan dalam cerita Pukkusati, seorang siswa yang belum pernah melihat Sang Buddha akan tetapi mengenalinya melalui ajarannya.

o    Dakkhinavibhanga Sutta: Mahapajapati menghadiahkan satu pasang jubah kepada Sang Buddha, yang menjelaskan berbagai jenis orang yang patut menerima pemberian dan berbagai jenis orang yang memberi.


3.     Samyutta Nikaya
Merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta (menurut "An analysis of the Pali Canon" [wheel no.217/218/219/220] ada 2.889 sutta). Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta. Beberapa Samyutta di antaranya sebagai berikut:

o    Mara: perbuatan-perbuatan bemusuhan dari Mara terhadap Sang Buddha dan para siswaNya.

o    Bhikkhuni: bujukan yang tidak berhasil dari Mara terhadap para bhikkuni dan perbedaan pendapatnya dengan mereka.

o    Brahma: Brahma Sahampati memohon Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma kepada dunia.

o    Sakka: Sang Buddha menguraikan sifat-sifat Sakka, Raja para Dewa.

o    Nidana Samyutta: penjelasan mengenai Paticcasamuppada (doktrin sebab musabab yang saling bergantungan).

o    Abhisamaya: dorongan untuk membasmi kekotoran batin secara tuntas.

o    Khandha Samyutta: kumpulan unsur, fisik dan mental yang membentuk individu.

o    Kilesa: kekotoran batin muncul dari enam pusat indria dan kesadaran indria.

o    Vedana: tiga jenis perasaan dan sikap yang benar terhadap perasaan itu.

o    Citta: alat indria dan obyeknya pada hakekatnya tidak jahat, melainkan kehendak-kehendak tidak baik yang timbul melalui kontak mereka.

o    Asankhata: tidak terbentuk (Nibbana)

o    Magga Samyutta: jalan beruas delapan.

o    Bojjhanga: tujuh faktor Penerangan Agung.

o    Satipatthana: empat dasar kesadaraan.

o    Indriya: lima kemampuan

o    Sammappadhana: empat macam usaha benar.

o    Bala: lima kekuatan.

o    Iddhipada: empat kekuatan batin.

o    Anuruddha: kekuatan-kekuatan gaib yang dicapai oleh Anuruddha melalui kesadaran.

o    Jhana: empat jhana.

o    Anapana: kesadaraan dari pernapasan.

o    Sotapatti: gambaran tentang seorang "penakluk arus".

o    Sacca: empat kesunyataan mulia.


4.     Anguttara Nikaya
Merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 9.577 sutta (menurut "An Analysis of the Pali Canon & Buddhism" oleh Christmas Humphreys ada 2.308 sutta) dan terbagi atas 11 nipata (bagian). Sutta-sutta di sini disusun menurut urutan bernomor untuk memudahkan pengingatan.

o    Ekaka Nipata: (yang serba satu) misalnya pikiran terpusat/tidak terpusat; usaha ketekunan Sang Buddha dan sebagainya.

o    Duka: (yang serba dua), dua jenis kamma vipaka yaitu yang membuahkan hasil dalam kehidupan sekarang maupun yang membawa kepada tumimbal lahir dan seterusnya; dua jenis dana; dua golongan Bhikkhu dan sebagainya.

o    Tika: (yang serba tiga), tiga pelanggaran melalui jasmani, ucapan dan pikiran; tiga perbuatan yang patut dipuji yaitu kedermawanan, penglepasan, dan pemeliharaan orang tua; dan sebagainya.

o    Catuka: (yang serba empat), empat jenis orang yaitu tidak bijaksana dan tidak beriman; tidak bijaksana tapi beriman; bijaksana tapi tidak beriman, bijaksana dan beriman; empat jenis kebahagiaan (empat Brahma Vihara, empat sifat yang menjaga Bhikkhu dari kekeliruan); empat cara pemusatan diri dan sebagainya.

o    Pancaka: (yang serba lima), lima ciri yang baik dari seorang siswa; lima rintangan batin; lima obyek meditasi; lima sifat buruk; lima perbuatan baik; dan sebagainya.

o    Chakka: kewajiban rangkap enam dari seorang Bhikkhu.

o    Sattaka: tujuh jenis kekayaan; tujuh jenis kemelekatan.

o    Atthaka: delapan sebab kesadaran; delapan sebab pemberian dana; delapan sebab gempa bumi.

o    Navata: sembilan perenungan; sembilan jenis manusia.

o    Dasaka: sepuluh perenungan, sepuluh jenis penyucian batin.

o    Ekadasaka: sebelas jenis kebahagian / jalan menuju nibbana; sebelas sifat-sifat baik dan buruk dari seorang pengembala dan Bhikkhu.


5.     Khuddaka Nikaya 
Merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu:

o    Khuddaka Patha: bacaan dari bagian-bagian singkat; berisi empat teks dan lima sutta, yaitu:

§   Saranattaya: pengulangan tiga kali berlindung pada Buddha,Dhamma dan Sangha.

§   Dasasikkhapada: sepuluh sila yang harus dipatuhi oleh para samanera. Lima pertama harus dipatuhi oleh umat biasa.

§   Dvattimsakara: daftar 32 unsur pokok badan jasmani.

§   Kumarapanha: sepuluh macam tanya jawab untuk para samanera.

§   Mangala Sutta: sebuah syair untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah kebahagian tertinggi itu.

§   Ratana Sutta: sebuah syair mengenai Tiratana dalam hubungannya untuk menerangkan kepada para makhluk halus.

§   Tirokudda Sutta: syair mengenai pelimpahan jasa untuk arwah sanak keluarga yang sudah meninggal, yang terlahir di alam yang menyedihkan.

§   Nidhikanda Sutta: syair tentang pengumpulan harta sejati.

§   Metta Sutta: syair tentang cinta kasih universal.


o    Dhammapada: kata-kata dari Dhamma; kumpulan 423 bait yang dibagi dalam 26 vagga.

o    Udana: kumpulan dari 80 udana yang terbagi menjadi 8 vagga. Kitab ini memuat khotbah Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.

§  Bodhi Vagga: menggambarkan kejadian-kejadian tertentu setelah pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha, termasuk khotbah termasyur kepada Bahiya yang menekankan kehidupan pada saat sekarang.

§  Mucalinda: vagga ini dinamai menurut nama raja Naga yang melindungi Sang Buddha dengan kepalanya.

§  Nanda: Sang Buddha meyakinkan saudara tirinya, Nanda, tentang kehampaan hidup duniawi. Juga memuat nasehat-nasehat kepada Sangha.

§  Meghiya : tanpa memeprdulikan nasehat Sang Buddha, Meghiya mengasingkan diri ke sebuah hutan mangga untuk berlatih meditasi, tetapi batinnya segera diserang pikiran-pikiran tidak baik. Setelah kembali kepada Sang Buddha, ia diberitahukan bahwa lima faktor harus ditumbuhkan oleh orang yang batinnya belum berkembang yaitu persahabatan yang baik, moralitas, percakapan yang menguntungkan, keteguhan hati, dan pengetahuan. Juga memuat cerita-cerita Sundari dan serangan terhadap Sariputta oleh seorang Yakkha.

§  Sonathera: memuat kisah kunjungan Raja Pasenadi kepada Sang Buddha, khotbah kepada Suppabuddha yang menderita penyakit kusta, penjelasan mengenai delapan ciri Sasana dan tahun pertama dari kehidupan Sona sebagai bhikkhu.

§  Jaccandha: memuat gambaran tentang Sang Buddha akan mencapai parinibbana, percakapan Raja Pasenadi, dan kisah raja yang menyuruh orang-orang yang buta sejak lahir (jaccandha) untuk masing-masing meraba dan menggambarkan seekor gajah - untuk membantu menjelaskan realisasi sebagian dari kebenaran.

§  Cula: memuat peristiwa-peristiwa kecil, terutama mengenai para Bhikkhu secara perorangan.

§  Pataligama: memuat definisi termasyur dari Nibbãna sebagai yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak dibuat, tidak dibentuk, santapan Sang Buddha yang terakhir dan nasehatnya kepada Ananda mengenai Cunda, dan kunjungan ke Pataligama tempat Sang Buddha mengungkapkan lima manfaat menempuh kehidupan suci dan lima kerugian tidak melakukan hal itu.

o    Itivuttaka : kumpulan 112 sutta pendek dalam 4 nipata yang masing-masing disertai syair. Syair-syair ini biasanya dimulai dengan kata "Iti Vuccati" (demikian dikatakan). Karya ini terdiri atas ajaran-ajaran etika dari Sang Buddha

o    Sutta Nipata : kumpulan ini terdiri atas lima vagga yang memuat 71 sutta. Sutta-sutta itu diantaranya sbb.:

§   Uraga Sutta: Bhikkhu yang menyingkirkan semua nafsu (buruk) manusia, kemarahan, kebencian, kerakusan, dll.; dan terbebas dari khayalan dan ketakutan, diperbandingkan dengan seekor ular yang berganti kulit.

§   Dhaniya Sutta: ketenangan duniawi diperbandingkan dengan ketenangan Sang Buddha.

§   Kasibharadvaja Sutta: pekerjaan yang berguna secara sosial atau duniawi diperbandingkan dengan usaha-usaha Sang Buddha yang tidak kurang pentingnya untuk mencapai Nibbãna.

§   Cunda Sutta: Sang Buddha menguraikan tentang 4 jenis samana, seorang Buddha, seorang Arahat, seorang Bhikkhu yang sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dan seorang Bhikkhu penipu.

§   Parabhava Sutta: sebab-sebab kejatuhan seseorang dalam bidang moral dan batin diuraikan.

§   Vasala atau Aggika Bharadvaja Sutta: untuk menyangkal tuduhan orang buangan, Sang Buddha menjelaskan bahwa karena perbuatanlah, bukan garis keturunan, orang menjadi orang buangan atau brahmana.

§   Metta Sutta: unsur-unsur pokok latihan cinta kasih terhadap semua mahluk.

§   Hemawata Sutta: dua orang jakkha ragu-ragu tentang sifat-sifat Buddha yang dinyatakan olehnya. Sang Buddha merumuskan uraiannya dengan menjelaskan jalan pembebasan dari kematian.

§   Alavaka Sutta : Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan Yakkha Alavaka mengenai kebahagiaan, pengertian, jalan ke Nibbana.

§   Vijaya Sutta: suatu analisa tubuh dalam bagian-bagian pokoknya (yang tidak bersih) dan sebutan Bhikkhu yang mencapai Nibbãna karena memahami sifat sejati badan jasmani.

§   Muni Sutta: konsepsi idealitas seorang muni atau orang bijaksana yang menjalani kehidupan menyepi yang bebas dari nafsu-nafsu.

§   Ratana Sutta: pujian kepada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).

§   Mahamangala Sutta: 38 macam petunjuk-petunjuk etika dalam menempuh kehidupan suci, mulai dengan petunjuk-petunjuk etika dasar dan mencapai puncaknya pada penyelaman Nibbãna.

§   Suciloma Sutta: untuk menanggapi sikap mengancam dari Yakkha Suciloma, Sang Buddha menyatakan bahwa nafsu, kebencian, keraguan, dan sebagainya bermula dengan badan jasmani, keinginan, dan konsep aku.

§   Rahula Sutta: Sang Buddha menasehati putra-Nya yang telah ditahbiskan, Rahula, untuk menghormati orang bijaksana, bergaul dan berhubungan sesuai dengan prinsip-prinsip seorang pertapa.

§   Vangisa Sutta: Sang Buddha memberi kepastian kepada Vangisa bahwa gurunya yang telah wafat, Nigrodhakappa, telah mencapai Nibbãna.

§   Dhammika Sutta: Sang Buddha menjelaskan kepada Dhammika kewajiban masing-masing dari seorang Bhikkhu dan umat biasa; umat biasa diharapkan untuk mentaati Pancasila dan memperingati hari-hari Uposatha.

§   Pabbajja Sutta : Raja Bimbisara dari Magadha menggoda Sang Buddha dengan kekayaan meterinya dan menanyakan garis keturunannya. Sang Buddha menunjukkan kenyataan tentang kelahiran di antara kaum Sakya dari Kosala dan Ia telah mengatasi khayal dari kenikmatan-kenikmatan indria.

§   Padhana Sutta: uraian yang jelas sekali mengenai godaan Mara menjelang pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha.

§   Subhasita Sutta: bahasa para Bhikkhu hendaknya baik dalam penuturannya, menyenangkan, tepat, dan benar.

§   Salla Sutta: kehidupan itu berlangsung singkat dan semua kehidupan terancam oleh kematian, tetapi orang bijaksana yang memahami sifat kehidupan tidak merasa takut.

§   Vasetta Sutta: dua orang pemuda, Bharadvaja dan Vasettha, membahas masalah martabat brahmana karena kelahiran, tetapi Vasettha mengatakan bahwa seseorang menjadi brahmana hanya karena perbuatan. Sang Buddha akhirnya menegaskan pandangan Vasettha sebagai pendapat yang benar.

§   Kokaliya Sutta: Kokaliya secara keliru menganggap keinginan-keinginan jahat berasal dari Sariputta dan Moggallana dan akhirnya menimbulkan penderitaan, karena kematian dan tumimbal lahir di salah satu alam neraka. Sang Buddha kemudian menyebutkan satu persatu neraka-neraka yang berbeda dan menggambarkan hukuman atas perbuatan mengumpat dan menfitnah.

§   Nalaka Sutta: ramalan Pertapa Asita mengenai Buddha Gotama yang akan datang. Putra adik perempuannya, Nalaka, memiliki kebijaksanaan tertinggi yang dibentangkan kepadanya oleh Sang Buddha.

§   Dvayatanupassana Sutta: dukkha timbul dari substansi, ketidaktahuan,  panca khandha, keinginan, kemelekatan, usaha, makanan, dan sebagainya.

§   Magandiya Sutta: kembali Sang Buddha menekankan kepada Magandiya, seorang yang yakin akan kesucian melalui filsafat, bahwa kesucian hanya dapat terjadi karena kedamaian batin.

§   Purabheda Sutta: kelakuan dan ciri-ciri seorang bijaksana sejati yaitu kebebasan dari keserakahan, kemarahan, keinginan, nafsu, dan kemelekatan dan senatiasa tenang, tenggang ras, dan bermental seimbang.

§   Culaviyuha Sutta: uraian mengenai mazhab-mazhab filsafat yang berbeda semuanya saling bertentangan tanpa menyadari bahwa kebenaran itu satu.

§   Mahaviyuha Sutta: para ahli filsafat hanya memuji diri mereka sendiri dan mengecam orang lain, tetapi seorang brahmana sejati tetap tidak tertarik kepada pencapaian intelektual yang meragukan itu dan karenanya tenang dan damai.

§   Attadanda Sutta: orang bijaksana hendaknya tulus, tidak berbohong, sederhana, bebas dari ketamakan dan fitnah, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan kemasyuran.

o    Vimanavatthu: cerita-cerita mengenai rumah di surga yang merupakan 85 syair dalam tujuh vagga mengenai pahala dan tumimbal lahir di alam-alam surga.

o    Petavatthu: terdiri atas 51 syair dalam 4 vagga mengenai tumimbal lahir sebagai setan pengembara karena perbuatan-perbuatan tercela.

o    Theragatha: syair tentang para Bhikkhu senior (thera), kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan para Thera atas pembebasan yang telah dicapai.

o    Therigatha: syair tentang para Bhikkhuni senior (theri), buku yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

o    Jataka: cerita kelahiran merupakan kumpulan yang memuat 547 kisah yang dianggap sebagai cerita tentang kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Nidana Katha atau cerita tentang garis silsilah adalah ulasan pengantar yang menguraikan kehidupan Sang Buddha sampai pembukaan Vihãra Jetavana di Savatthi dan juga kehidupan-kehidupan lampaunya di bawah Buddha-Buddha terdahulu.

o    Niddesa: terbagi dalam Mahaniddesa, sebuah ulasan mengenai Atthakavagga dari Sutta Nipata, dan Culaniddesa, sebuah ulasan mengenai Parayanavagga dan Khaggavisana Sutta yang juga dari Sutta Nipata. Niddesa ini sendiri diulas dalam Saddhammapajjotika dari Upasena dan di situ dihubungkan dengan Sariputta.

o    Patisambhidamagga: suatu analisa Abhidhamma tentang konsep dan latihan yang sudah disebutkan dalam Vinaya Pitaka dan Digha, Samyutta dan Anguttara Nikaya. Ini dibagi dalam 3 bagian; Maha vagga, Yuganaddha-vagga dan Panna-vagga; tiap-tiap vagga memuat sepuluh topik (katha).

o    Apadana: Kisah dalam syair tentang kehidupan lampau dari 550 orang Bhikkhu dan 40 orang Bhikkhuni, yang semuanya diceritakan hidup pada masa Sang Buddha.

o    Buddhavamsa: Riwayat Para Buddha yang di dalamnya Sang Buddha menuturkan cerita tentang kebulatan hatinya untuk menjadi Buddha, dan mengungkapkan riwayat 24 Buddha yang mendahuluinya.

o    Cariyapitaka: 35 kisah dari Jataka dalam syair yang melukiskan 7 dari 10 Kesempurnaan (dasa parami) yaitu kemurahan hati, moralitas, penglepasan, kebijaksanaan, daya usaha, kesabaran, kebenaran, keteguhan hati, cinta kasih, dan keseimbangan batin.


ABHIDHAMMA PITAKA

Ketika Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika. Jadi merupakan penyajian khusus tentang Dhamma seperti yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Pada umumnya, isinya terdapat dalam sutta-sutta akan tetapi yang diuraikan dalam bagian ini adalah bentuk yang terperinci. Kitab ini terdiri atas 7 buah buku (pakara), yaitu:

1.     Dhammasangani: perincian Dhamma-Dhamma, yakni unsur-unsur atau proses-proses batin.

2.     Vibhanga: perbedaan atau penetapan. Pendalaman mengenai soal-soal dalam Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi 8 bab (vibhanga) dan masing-masing mempunyai 3 bagian.

3.     Dhatukatha: penjelasan mengenai unsur-unsur, yaitu mengenai unsur-unsur batin dan hubungannnya dengan kategori lain. Buku ini terbagi menjadi 14 bagian.

4.     Puggalapannatti: penjelasan mengenai orang-orang, terutama menurut tahap-tahap pencapaian merka sepanjang Jalan. Dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai sepuluh, seperti sistem dalam Kitab Anguttara Nikaya.

5.     Kathavatthu: pokok-pokok pembahasan, yaitu pembebasan dan bukti-bukti kekeliruan dari berbagai sekte (aliran-aliran) tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. Terdiri atas 23 bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha).

6.     Yamaka: kitab pasangan, yang oleh Geiger disebut logika terapan. Pokok masalahnya adalah psikologi dan uraiannya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan berpasangan. Kitab ini terbagi menjadi 10 bab yang disebut Yamaka.

7.     Patthana: kitab hubungan, yaitu analisa mengenai hubungan-hubungan (sebab-sebab dan sebagainya) dari batin dan jasmani yang berkenaan dengan 24 paccaya (kelompok sebab-sebab).

Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana, dan mudah dimengerti oleh umum. Pada dewasa ini sudah banyak bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam Bahasa Indonesia misalnya Kitab Dhammapada; beberapa Sutta dari bagian Sutta Pitaka lainnya; beberapa bagian dari Vinaya Pitaka dan juga beberapa bagian (buku) dari Abhidhamma Pitaka.


oooOOooo
Bahan Acuan:
  •  Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia.
  • Iktisar Tipitaka, disusun oleh Budhiarta dan Dharma K. Widya.
  • Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Universitas Terbuka, Modul 4 - 6. 

Disusun oleh: Dhamma Study Group Bogor

Sumber: