Rabu, 09 November 2011

Realitas Sejarah Mengenai Apa yang Dianut Yeshua dan Pengikut-Nya



Torah dibacakan setiap tahun atau tujuh tahun sekali di Bait Suci satu-satunya di Yerusalem. Orang-orang Farisi melakukan reformasi agar Torah dapat dipelajari setiap saat, maka mereka menciptakan Sinagoge, sebuah bangunan tempat berkumpul  mempelajari Torah. Mahzab Saduki, tidak memakai Sinagoge sebagai tempat ibadah dan belajar, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus Bait Suci. Mahzab Esseni juga tidak belajar dan mengajar di Sinagoge, karena mereka memisahkan diri dari keramaian seperti pertapa, mereka juga melarang pengikutnya ke Bait Suci di Yerusalem karena mereka memandang Bait Suci sudah korup. Gambar di atas adalah Sinagoge di Galilea, tempat dulu Yeshua/Yesus mengajar, yang pasti menggunakan bahasa Ibrani atau Aramaik (Bahasa pergaulan sejak masa pembuangan di Babilonia). (Sumber: Siaran Akar Ibrani)

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang apa yang Alkitab ajarkan, kita perlu kembali kepada masa dimana Yeshua dan Paulus hidup. Yudaisme pada abad pertama didominasi oleh golongan yang dinamakan Farisi. Hal pertama yang perlu dibereskan adalah mengenai pengertian istilah "Farisi". The American Heritage Dictionary (The American Heritage Dictionary, Second College Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1985.memberikan dua definisi berikut:

  • Seorang anggota dari sebuah sekte Yahudi kuno yang menekankan pada penafsiran yang keras dan ketaatan terhadap hukum Musa baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.
  • Seorang yang berlaku munafik dalam beribadah.

Budaya Barat yang kita anut menyamakan definisi pertama dengan yang kedua. Orang Farisi adalah "orang-orang yang jahat", dan kepercayaan yang mereka anut pun juga sesat. Bukankah "Yesus" sendiri menyebut mereka orang munafik, setan, keturunan ular beludak, dan sebagainya ? Pandangan ini merupakan produk dari sikap anti-Yahudi yang sudah berlangsung berabad-abad dan berseberangan dengan Alkitab dan fakta historis.

Contoh-contoh tipikal dalam ajaran Kristen tentang hal ini dapat dijumpai dalam karya penulis dan apologis terkenal, J. Dwight Pentecost, dalam bukunya yang mashyur, The Words and Works of Jesus Christ. Untuk menunjukkan bagaimana Yesus mengajarkan doktrin yang berbeda dengan orang Farisi, dan memerintahkan manusia untuk mengikuti ajaran-Nya, dan bukan ajaran mereka, Pentecost memberikan bukti pendukung argumennya dengan mengutip dua penulis Kristen lainnya.

Pentecost, mengutip J.W Shepard, menulis:

"Contoh dari tulisan-tulisan dalam Mishna dan Gemara (dua bagian dari Talmud) menunjukkan bahwa mereka adalah koleksi menjemukan yang berisi penjelasan yang terputus-putus atas banyak pokok persoalan. Ajaran mereka sempit, dogmatis, second hand, tidak ada yang baru, memaksa, atau menggerakkan emosi…Khotbah Yesus justru adalah sebaliknya, dengan pengertian intuitif yang cepat menembus lubuk hati manusia yang paling dalam, menggerakkan kesadaran dan kehendak untuk berbuat…Kata-kata yang begitu indah keluar dari bibir-Nya, diucapkan dengan cara yang ramah, sehingga dunia berkata: Tidak ada manusia yang berbicara seperti orang ini."

Pentecost, mengutip Frederick Farrar, menulis:

"Banyak hal telah ditulis belakangan ini yang memuji-muji Talmud. Saat ini literatur yang diberi nama Talmud itu terdiri atas duabelas volume tebal seukuran folio; dan adalah aneh jika dari literatur setebal ensiklopedia ini kita tidak dapat mengutip barang sepotong pun bagian yang mengesankan, ilustrasi yang menarik, atau sejumlah perasaan moral yang membangkitkan pemikiran mulia. Tetapi apa yang terlihat oleh saya tidak dapat disangkal, dan orang lain juga bisa menilainya sendiri, bahwa apa yang benar-benar berharga dalam Talmud sangat sedikit sekali dibandingkan dengan tumpukan sampah di dalamnya yang hampir tidak terhitung jumlahnya." (The Words and Works of Jesus Christ, J. Dwight Pentecost, 1981, The Zondervan Corporation, Grand Rapids, MI, p.188-189.)

Mari kita perjelas – Pentecost, Shepard dan Farrar tidak diragukan lagi mewakili posisi Kristen terhadap Talmud (ajaran orang Farisi). Mereka semua setuju bahwa:
  • Ajaran "Yesus" berbeda secara keseluruhan dengan yang ada di Talmud.
  • Tidak ada ajaran Talmud yang mengandung nilai-nilai moral seperti dalam ajaran "Yesus".
  • Kata-kata dalam Talmud mengandung nilai-nilai "second hand".
  • Sedikit sekali hal-hal yang berharga di dalam Talmud.

Selama berabad-abad Gereja memegang opini ini terhadap Talmud. Sepanjang sejarah, kapan saja terjadi penganiayaan terhadap orang Yahudi oleh orang-orang Kristen, Talmud selalu menjadi sasaran pertama untuk dijadikan api unggun.
Ada dua lipat masalah dalam opini Kristen terhadap ajaran Farisi ini:
  • Sedikit sekali orang Kristen yang pernah mengusahakan diri mereka untuk membaca Talmud.
  • Bahkan lebih sedikit lagi yang mengerti bagaimana memahami tulisan tersebut karena Talmud tidak ditulis dalam gaya literatur "Barat". (Makanya J.W Shepard mengomentari Talmud sebagai"koleksi menjemukan yang berisi penjelasan yang terputus-putus atas banyak pokok persoalan."Seperti semua orang yang bersikap masa bodoh, ia mengutuki apa yang tidak dimengertinya).

Talmud merupakan saripati dari karya-karya tulis orang Farisi, kebanyakan berasal dari masa sebelum Yeshua. Dengan mempelajari Talmud dan membandingkannya dengan kata-kata Mesias (The Way of the Boundary Crosser, Gershon Winkler, 1998, Jason Aronson Inc., Jerusalem, pp. 221-251. Contoh-contoh yang ditunjukkan dalam tabel ini hanyalah sebagian kecil dari yang diberikan oleh Winkler, yang memperlihatkan ajaran Yeshua banyak memiliki kepadanan dengan Talmud, Midrash Rabbah, dan tulisan-tulisan Yahudi kuno.), kita menemukan hal yang bertolak-belakang dengan apa yang Kristen ajarkan:


Dari perbandingan antar ayat dalam tabel ini terungkap fakta:
  • Banyak kata-kata Yeshua yang tidak "orisinil".
  • Yeshua secara langsung mengutip dan mendukung ajaran di dalam Talmud.
Bagaimana kemudian pengajar Kristen mengelak dari hal ini ?

Satu hal, orang Kristen tidak ada yang menaruh peduli dengan kesalahan mereka itu. Orang Kristen sudah terbiasa dicekoki oleh apa saja yang diajarkan dari atas mimbar. Orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yeshua tentu saja juga tidak mempunyai hasrat untuk membangun dukungan bagi ke-Mesias-an Yeshua. Jadi siapa yang tersisa untuk mengungkapkan muslihat yang tersembunyi ini ? Untungnya, Tuhan masih meninggalkan sisa-sisa umat-Nya (Roma 11), dan kebenaran selalu mempunyai jalan untuk dinyatakan, walau sekalipun lambat.

Satu hal, kenyataan bahwa ucapan-ucapan Yeshua banyak yang tidak "orisinil" sama sekali tidak mengurangi kewibawaan dan otoritas Mesias dalam mengajar Taurat. Kita harus berpikir dalam arah kebalikan. Para rabbi sebelum Yeshua telah mewariskan pengajaran Taurat ini dari para pendahulu-pendahulu mereka, para nabi-nabi, para tua-tua, yang jika ditelusuri terus tentunya berawal dari Musa. Musa menerima Taurat langsung dari TUHAN dan itu berarti bersumber dari Mesias sendiri. Jadi sebenarnya Yeshua sedang mengulangi apa yang Ia telah ajarkan ke pd Musa.


Yeshua adalah seorang Farisi
Mengatakan Yeshua adalah seorang Farisi akan kedengaran sangat menggelikan bagi orang Kristen. Ini sekali lagi menunjukkan betapa jauhnya Kristen dari realitas sejarah mengenai Alkitab, Mesias dan kepercayaan para pengikut-Nya mula-mula.

Betul memang Yeshua mengritik beberapa orang Farisi yang tidak melakukan apa yang mereka ajarkan, karena kemunafikan mereka, dan karena mengikat beban-beban berat. Apa yang tidak dipahami oleh orang Kristen ialah kritikan keras merupakan hal yang lazim di kalangan kelompok-kelompok Farisi, dan dianggap wajar dalam ceramah-ceramah.

Sebagai contoh, orang Farisi sendiri mengakui bahwa mereka tidak semuanya baik, sebetulnya dikatakan ada "tujuh macam orang Farisi." (Babylonian Talmud, traktat Sotah 22bKebiasaan Yeshua menyebut sebagian dari mereka dengan kata-kata seperti "keturunan setan" merupakan hal yang umum dilakukan oleh orangorang Yahudi yang religius pada masa itu. Istilah yang sama juga digunakan oleh murid-murid Rabbi Hillel untuk menyebut seorang murid Rabbi Shammai, beberapa tahun sebelum Yeshua lahir.( Babylonian Talmudtraktat Yevamot, catatan kaki #14-16a: "secara harafiah ‘anak sulung setan.'"Dan sama halnya juga ketika Yeshua menyebut Petrus "Iblis" (Mat 16:23).

Penting dicatat bahwa Yeshua tidak pernah memarahi orang Farisi karena mengajarkan Taurat dengan benar, sebuah contoh yang bagus terdapat pada Matius 23:23. Disini Yeshua berkata kepada mereka, "Boleh-boleh saja kamu menambahkan hal-hal yang menurutmu dapat membawamu lebih dekat kepada Tuhan." (membayar selasih, adas manis dan jintan tidak diharuskan dalam Taurat). Tetapi Ia kemudian berkata, "Kamu harus melaksanakan apa yang terpenting dalam Taurat lebih dahulu, baru kemudian hal-hal optional seperti ini." Yeshua tidak menyuruh mereka berhenti mengerjakan Taurat – Ia menyuruh mereka untuk mengerjakannya dengan benar. Yang dikecam oleh Yeshua adalah perbuatan manusianya dan bukan hukum Tauratnya sebab perintah Taurat itu kudus, benar dan baik.


Yeshua bukan saja mengutip dan mendukung ajaran Farisi, seperti yang disajikan dalam tabel di atas, Ia juga menjunjung otoritas orang Farisi. Ia menyuruh orang banyak untuk mematuhi apa yang diajarkan oleh orang Farisi, karena mereka "telah menduduki kursi Musa", artinya otoritas mereka berasal dari Tuhan. (Mat 23:1-3) Pernyataan Yeshua ini menegaskan apa yang menjadi kalimat pembuka dalam Mishna Avot:

Musa menerima Taurat di Sinai dan menurunkannya kepada Y’hoshua, Y’hoshua kepada orang tua-tua, dan orang tua-tua kepada para nabi, dan para nabi kepada orang-orang dalam Majelis Besar. (Mishna Avot 1:1)

Majelis Besar adalah semacam mahkamah agama yang mengurus dan mengatur semua masalah-masalah agama. Secara tradisional mahkamah ini dimulai oleh Ezra sepulangnya bangsa Israel dari pembuangan. Shim'on Ha'Tzaddiq adalah salah seorang anggotanya yang terakhir. Shim’on menurunkan Taurat (lisan) kepada Antigonus dari Socho, Antigonus kepada Yose Ben Yo'ezer dan Yose Ben Yochanan, kemudian kepada Y'hoshua Ben Perayah dan Nittay dari Arbela, kemudian kepada Y'hudah Ben Tabbai dan Shim'on Ben Shetah, kemudian kepada Shemayah dan Abtalion, kemudian kepada Hillel dan Shammai.(Mishna Avot 1:1-18)

Ada dua madrasah yang paling terkemuka dan menjadi acuan masyarakat pada masa itu yakni madrasah Hillel dan madrasah Shammai (30 SM - 10 M). Pada waktu itu Hillel menjabat sebagai Nasi(presiden) Sanhedrin (mahkamah agama Yahudi) dan Shammai sebagai ketua dewannya. Keduanya saling bersaing dalam menghasilkan tafsiran-tafsiran dan aplikasi Taurat dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Hillel tergolong "liberal" sedangkan Shammai lebih cenderung menuruti "huruf hukum Taurat". Banyak sekali doktrin Yudaisme yang "diselesaikan" sebelum masa Yeshua oleh madrasah-madrasah ini. Ketika Yeshua bicara, Ia sering menyatakan pendapat-Nya terhadap penafsiran Alkitab yang telah ada, yaitu dengan mendukung pendapat orang lain.Misalnya, dalam Matius 7:12, kita menjumpai ajaran-Nya yang terkenal sebagai "the golden rule":

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga
kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 7:12)

Yeshua disini mengulangi apa yang diajarkan oleh Rabbi Hillel beberapa tahun sebelumnya:

"Apa yang jahat di matamu jangan lakukan itu terhadap sesamamu Itulah keseluruhan Taurat, sementara sisanya merupakan penjelasan saja, maka pergilah dan pelajarilah." (Babylonian Talmud, Shabbat 31a)

Dalam banyak kasus, Yeshua mendukung ajaran Hillel (kakek Rabbi Gamaliel, guru Paulus). Dalam kasus yang jarang, seperti dalam aturan (halakha) mengenai perceraian (Mat 5:31), Yeshua justru mendukung ajaran Shammai (bd. Gittin 9:10). Di luar itu kita juga bisa menemukan kesamaan antara ajaran Yeshua dengan ajaran kaum Esseni, misalnya tentang mengucapkan sumpah (Mat 5:33-37; bd.Damascus Document - Geniza A; Kolom. 15; Baris 1-3).

Contoh-contoh dimana ajaran Yeshua bersesuaian dengan Hillel dapat dijumpai dalam keempat
Injil. (The Way of the Boundary Crosser, Gershon Winkler, 1998, Jason Aronson Inc., Jerusalem, pp. 221-251.)


Banyak sekali bukti yang bisa ditunjukkan, jika kita membandingkan Talmud dengan Kitab Suci, bahwa Yeshua meneguhkan ajaran-ajaran orang Farisi. Alkitab menunjukkan bahwa Ia juga meneguhkan otoritas orang Farisi dalam masalah-masalah agama. Jika dipahami dengan baik (tanpa bias), kritikan Yeshua terhadap orang Farisi sebenarnya bagian dari rangka diskusi antar Farisi yang menjadi kebiasaan di antara mereka sendiri (mungkin paling baik dikatakan sebagai "debat kekeluargaan"). Talmud sendiri dipenuhi oleh setumpuk besar debat-debat macam ini – yang dikenal dengan istilah"berdebat demi Kerajaan [Elohim]" atau "berdebat demi perkara Hashem (Tuhan)".

Sejarah dan Alkitab menunjukkan bahwa Yeshua mengidentifikasikan diri-Nya sebagai seorang Farisi. Sesungguhnya, ketika orang-orang Farisi menanyakan Yohanes (Yochanan) Pembaptis siapakah dia, ia menjawab bahwa seseorang dari antara MEREKA (orang-orang Farisi itu) adalah
Mesias yang akan datang (Yoh 1:26-27).

Yeshua adalah seorang Yahudi, seorang rabbi dan seorang Farisi, yang selalu menjunjung tinggi Taurat, mengucapkan Shema, mengenakan tzitzit, mendukung Talmud, dan orthodoks dalam kehidupan-Nya.

Inikah "Yesus"-nya orang Kristen ?


Orang Farisi dalam "Perjanjian Baru"

Seperti yang sudah diterangkan di atas, pada masa Yeshua ada dua buah kelompok besar dalam tubuh Farisi yang masing-masing dipimpin oleh madrasah besar, satu didirikan oleh Rabbi Hillel dan satunya lagi oleh Rabbi Shammai. Kalau kita memahami konteks dalam "Perjanjian Baru" dalam setting Yahudi pada abad pertama, kita akan banyak menemukan perjumpaan Yeshua dengan kedua kelompok orang Farisi ini. Walaupun "Perjanjian Baru" tidak menerangkan secara definitif dari madrasah mana orang-orang Farisi yang bertanya-jawab dengan Yeshua, kita bisa mengetahuinya dari diskusi mereka tersebut.

Marilah kita meluruskan dulu hal yang disalah-pahami oleh orang Kristen bahwa : SEMUA orang Farisi adalah jahat dan memusuhi Yeshua. Ini adalah asumsi yang SALAH. Sebaliknya, juga adalah asumsi yang SALAH mengatakan Yeshua mengecam SEMUA orang Farisi. Pemahaman yang keliru ini merupakan hasil pendekatan yang sangat hurufiah terhadap bahasa Ibrani "Perjanjian Baru" yang sarat dengan gaya bahasa hiperbola. Contoh yang satu ini rasanya sudah mencukupi. Dalam Markus 14:64 ditulis: "Lalu dengan SUARA BULAT mereka memutuskan bahwa Dia harus dihukum mati".Bandingkan dengan ayat paralel dalam Lukas 23:50-51: "Adalah seorang yang bernama Yusuf. Ia anggota Majelis Besar dan seorang yang baik lagi benar. Ia tidak setuju dengan putusan dan tindakan Majelis itu. Ia berasal dari Arimatea, sebuah kota Yahudi dan ia menanti-nantikan Kerajaan Tuhan."

Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam penulisan Injil. Markus mengatakan bahwa semua anggota Sanhedrin dengan SUARA BULAT memutuskan hukuman mati sementara Lukas memperlihatkan bahwa Yusuf dari Arimatea (dan mungkin juga Nikodemus) tidak setuju dengan putusan ini. Apakah Markus disini mau mengatakan bahwa semua anggota Sanhedrin, termasuk Yusuf dan Nikodemus, turut menjatuhkan putusan untuk menyalib Yeshua ? Tidak ! Markus disini menggunakan pernyataan hiperbola bergaya Ibrani untuk menyatakan bahwa mayoritas Sanhedrin memutuskan demikian.

Kembali kepada fakta historis bahwa ada dua kelompok besar Farisi pada masa Yeshua, yang dimotori masing-masing oleh madrasah Hillel dan madrasah Shammai. Jadi ketika Yeshua bertanya-jawab dengan orang-orang Farisi ini, maka tentunya Ia sedang berbicara dengan salah satu dari kedua kelompok ini. Madrasah Shammai adalah madrasah yang lebih dominan. Kita mengetahui dari literatur yang luas dari masa itu bahwa madrasah ini belum lama didirikan ketika Yeshua dilahirkan. Madrasah Shammai merupakan contoh apa yang dinamakan dengan "the letter of the Law", menuruti hukum secara hurufiah. Ajaran-ajaran madrasah ini bisa dibayangkan seperti demikian: bahwa orang Yahudi adalah bangsa yang lebih unggul dan bangsa lain sama sekali tidak berharga. Bahwa keselamatan hanya diperoleh oleh bangsa Yahudi dan mereka membuat aturan yang keras bagi orang-orang bukan Yahudi yang mau menganut agama mereka. Madrasah ini membenci semua yang bukan Yahudi dan meremehkan orang-orang Yahudi yang tidak mengikuti ajaran mereka. Sekitar tahun 8 Masehi (ketika Yeshua baru berumur kira-kira 12 tahun), Shammai mengeluarkan 18 buah maklumat yang ditujukan untuk memaksakan pemisahan antara orang Yahudi dan orang bukan Yahudi. Ini termasuk pelarangan memasuki rumah orang bukan Yahudi agar tidak mencemarkan diri. Maklumat ini menjadi hukum bagi bangsa Israel.

Jadi, jika kita membaca bagaimana Yeshua dan Petrus dikecam karena makan bersama dan masuk ke rumah orang bukan Yahudi, hal ini dapat ditelusuri berasal dari maklumat Shammai. Madrasah tersebut juga mempunyai ikatan yang erat dengan golongan fanatik Zelot yang menyerukan perlawanan bersenjata melawan Romawi. Sebenarnya setiap kali kita melihat Yeshua atau para rasul berseteru dengan orang-orang Farisi, mereka adalah orang-orang Farisi dari kelompok madrasah Shammai.

Madrasah Hillel jauh lebih memiliki karakteristik apa yang dinamakan dengan "the spirit of the Law", menuruti hukum secara rohani. Hillel terkenal karena menempatkan humanisme dan belaskasih ke dalam intisari Yudaisme dimana Shammai lebih menekankan ketaatan dalam menjalankan hukum-hukum agama. Walau para pengikut Hillel mengakui bahwa bangsa Yahudi adalah umat pilihan Tuhan, mereka menerima orang-orang bukan Yahudi yang mau menganut agama mereka dengan tangan terbuka (Bd. Matius 23:15). Boleh jadi ketika Yeshua berada di Bait Elohim pada usia 12 tahun seperti yang diceritakan oleh Lukas, Ia ditemukan sedang bertanya-jawab dengan orang-orang Farisi, dan sangat mungkin Rabbi Hillel ada disana juga pada waktu itu.

Perbedaan antara dua kelompok ini juga bisa dilihat dari tabiat pemimpinnya. Dalam Talmud dikisahkan pada suatu ketika datanglah seorang tidak bersunat kepada Shammai dan berkata kepadanya, "Buatlah saya bertobat, dengan satu syarat engkau harus dapat mengajari saya seluruh Taurat sampai selesai selagi saya berdiri di atas satu kaki". Shammai menganggap orang itu melecehkan agamanya, lalu memukul orang itu sampai termundur-mundur dengan tongkat pengukurcubit yang ada di tangannya. Kemudian orang itu ganti mendatangi Hillel dan memberikan tantangan yang sama. Hillel tidak menjadi marah karena hal itu. Jawab Hillel kepada orang itu, "Apa yang jahat di matamu jangan lakukan itu terhadap sesamamu Itulah keseluruhan Taurat, sementara sisanya merupakan penjelasan saja, maka pergilah dan pelajarilah." (Babylonian Talmud, Shabbat 31a. Lihat pula Imamat 19:18.)

Satu contoh yang menunjukkan betapa kontrasnya Hillel dan Shammai ditemukan dalam kisah orang yang disembuhkan di kolam Bethsaida. Selagi membawa pulang tilamnya, orang itu mendapat omelan dari beberapa orang Farisi karena membawa tilam pada hari Sabat. Berdasarkan fakta yang ada, tidak diragukan lagi orang-orang Farisi ini berasal dari madrasah Shammai. Menurut halakha yang dikeluarkan oleh madrasah Shammai, seseorang yang disembuhkan pada hari Sabat tidak diizinkan membawa tilamnya tanpa melanggar aturan Sabat. Sebaliknya, madrasah Hillel menganut aturan yang berlawanan – orang yang disembuhkan pada hari Sabat boleh membawa pulang tilamnya.

Ketika kita membaca "Perjanjian Baru" dimana Yeshua berbincang-bincang secara positif dengan orang Farisi (misalnya Nikodemus, atau orang muda yang kaya), Ia kemungkinan besar sedang berbincang dengan orang Farisi dari madrasah Hillel. Orang-orang yang akrab dengan ajaran Hillel dan ajaran Yeshua akan menemukan persamaan-persamaan yang luar biasa di antara keduanya.

Contoh lainnya lagi bagaimana Yeshua berinteraksi dengan kedua madrasah ini terdapat dalam Yohanes 9:16. Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu (dari madrasah Shammai): "Orang ini tidak datang dari Eloah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat". Sebagian pula (dari madrasah Hillel) berkata: "Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mukjizat demikian ?" Maka timbullah pertentangan di antara mereka. Perhatikan bagaimana orang-orang dari madrasah Shammai menolak Yeshua mentah-mentah, sementara orang-orang dari madrasah Hillel tidak yakin. Shammai mengajarkan bahwa menyembuhkan orang di hari Sabat sama saja artinya dengan bekerja, maka itu dosa, sedangkan Hillel memandang bahwa menyembuhkan orang itu adalah perbuatan baik sehingga diperbolehkan pada hari Sabat.

Sepeninggal Hillel, posisinya digantikan oleh anaknya, Rabbi Simeon (Posisi Ketua Dewan dihapuskan setelah Rabbi Akabia menolak menduduki jabatan itu untuk menggantikan Rabbi Shammai. Sejak itu presiden (Nasi) menjadi pimpinan tunggal dalam Sanhedrin.). Simeon kemudian digantikan oleh anaknya, Rabbi Gamaliel, yang adalah guru Paulus (Kis 5:34; 22:3). Yang menarik untuk diperhatikan bahwa hampir semua orang-orang Farisi yang diceritakan dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat para rasul berasal dari kelompok Shammai. Banyak dari mereka sebenarnya yang menjadi percaya. Ketika membaca Kisah Para Rasul dimana menyebut "beberapa orang dari golongan Farisi yang menjadi percaya", maka yang dimaksud adalah orang-orang dari kelompok Shammai. Orang-orang Farisi ini masih terpaku kepada filosofi mereka dan mempersulit orang-orang bukan Yahudi untuk menjadi percaya. Paulus berulang-kali berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Sikap Paulus terhadap mereka ini dapat dipahami bukan saja karena memang apa yang mereka ajarkan adalah tidak benar tetapi dengan melihat pula sisi latar belakang Paulus yang merupakan jebolan madrasah Hillel.

Bab berikutnya akan membicarakan siapa Paulus dan bagaimana ajaran-ajarannya sering disalah-pahami, baik oleh orang-orang Yahudi maupun oleh orang-orang bukan Yahudi.

Paulus dan Ajarannya Dalam Perspektif Ibrani

Paulus juga adalah seorang Farisi

Rabbi Sha’ul atau yang lebih dikenal sebagai Paulus, juga membaca, mengerti, mengajar dan menulis tentang Kitab Suci Ibrani dan Mesias Ibrani dengan cara-cara pikir orang Farisi. Secara pribadi Paulus ididik langsung oleh Rabbi Gamaliel, Nasi Sanhedrin yang sekaligus juga adalah cucu dari Rabbi Hillel.

Paulus mengaku bahwa ia adalah "orang Farisi dari keturunan Farisi", sebuah pernyataan bahwa ia bukan dari golongan Yahudi yang dipengaruhi oleh budaya Hellenis (orang-orang Yahudi yang lebih suka menghiraukan Taurat supaya lebih dapat diterima dalam budaya Yunani/Romawi dimana mereka tinggal). Alkitab memperlihatkan bahwa tidak ada yang berubah dari Paulus ketika ia menjadi orang percaya – ia tetap seorang rabbi Farisi yang taat menjalankan Taurat sampai akhir hidupnya. Lewat dua puluh tahun pelayanannya menyebarkan Injil, ia tetap mengakui dirinya sebagai seorang Farisi (Kis 23:6; 26:5 - teks Yunani yang dipakai adalah dalam continuous tense ! Lihat Strong #1510 (5748)). Kalau saja anda bisa menghapuskan pemikiran anti-Yahudi ini: "Farisi = orang jahat", maka pengakuan Paulus disini bukanlah suatu kontradiksi terhadap apa yang diajarnya.

Semua ini membuat persoalan yang serius bagi orang yang ingin memahami surat-surat Paulus pada masa kini.

Bagaimana orang Kristen bisa memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap nats-nats keagamaan Yahudi dari abad pertama yang ditulis oleh seorang rabbi Farisi yang sangat menguasai Taurat bila mereka membaca surat-surat Paulus dalam budaya westernisasi abad ke-20 yang alergi terhadap Taurat dan budaya Yahudi dimana Paulus tumbuh dan belajar ? Maka itu tidaklah mengherankan mengapa ajaran Paulus terkadang membingungkan, sulit ditangkap, dan bahkan mengandung kontradiksi bagi sebagian orang yang membacanya. Misalkan, buku seri pemahaman Alkitab "The Daily Study Bible Series: The Letters to Galatians and Ephesians" karangan William Barclay, menulis demikian untuk menjelaskan Galatia 3:19-22:

"Ini adalah bagian yang paling sukar yang pernah Paulus tulis, begitu sukarnya sehingga ada hampir tiga ratus penafsiran tentangnya." (The Daily Study bible Series - the Letters to the Galatians and Ephesians, William Barclay, 1976, The Westminster Press, Philadelphia, p. 29.)

Tiga ratus penafsiran yang dikatakan Barclay disini tentunya adalah penafsiran yang tidak berbasiskan Taurat.

Jadikan saja 301 dengan penafsiran Barclay sendiri. Ia melanjutkan perkataannya bahwa Tuhan memberikan hukum Taurat untuk menyatakan pelanggaran. Itu benar, namun kemudian Barclay menambahkan ini artinya, "…jika hukum tidak ada, maka dosa tidak ada. Seseorang tidak dapat dipersalahkan karena melakukan kesalahan jika ia tidak tahu bahwa itu salah." (Ibid. p.29Ini adalah pemikiran yang bagus, tetapi bukan apa yang Taurat, Yeshua, dan Paulus ajarkan. Taurat diberikan TUHAN untuk menunjukkan manusia mana yang baik dan mana yang tidak. Sama halnya seperti seorang ayah yang mengajarkan anaknya bahwa mencuri mangga tetangga atau berkelahi memperebutkan layang-layang itu tidak baik. Jika kita memakai logika Barclay, maka untuk apa ayah tersebut mengajarkan anaknya hal-hal tersebut ? Biarkan saja, toh selama ia tidak tahu bahwa itu salah maka ia tidak bisa dipersalahkan. Demikiankah ? Bukan demikian, tetapi karena cinta kasih.

Cukup aneh, dalam buku yang sama, Barclay dengan BENAR mengatakan:

"…kita harus ingat bahwa Paulus adalah seorang rabbi yang terpelajar, seorang ahli dalam metoda pelajaran dalam madrasah para rabbi. Ia mampu memakai cara-cara mereka dalam berargumen, dan itu ia lakukan, yang mana sangat meyakinkan sekali bagi orang Yahudi, tetapi mungkin sukar dimengerti oleh kita." (Ibid. p.27)

Legalisme vs Iman

Paulus mengerti benar perbedaan antara legalisme Farisi dengan pendekatan iman terhadap hukum Taurat melalui pengalaman pribadinya sendiri. Kita harus ingat bahwa Paulus adalah sekaligus seorang Farisi dan juga seorang rasul Mesias. Dengan demikian, ia benar-benar memahami sepenuhnya perbedaan kedua pendekatan tersebut.

Legalisme adalah praktik, teori, doktrin atau sistem dimana perintah-perintah Taurat dikerjakan supaya kewajiban agama orang tersebut terpenuhi. Legalisme sebagaimana pengertian Paulus ialah tentang "bagaimana" dan bukan tentang "apa". Hukum Taurat adalah baik jika ia digunakan dengan benar (menurut roh). Sebaliknya Taurat menjadi tidak baik jika digunakan untuk sekedar memenuhi kewajiban saja (legalistis) (I Tim 1:8).

Definisi Paulus mengenai legalisme dapat diuraikan sebagai sebuah pendekatan non-iman terhadap Hukum Tuhan. Antara legalisme dan pendekatan iman terdapat perbedaan perspektif seperti berikut :

  • Legalisme berfokus kepada suatu sistem.
  • Iman berfokus kepada suatu hubungan (relationship).
  • Legalisme berfokus kepada apa yang Hukum kehendaki.
  • Iman, sebaliknya, berfokus kepada apa yang Tuhan kehendaki melalui Hukum-Nya itu.
  • Legalisme mempertanyakan "bagaimana saya memenuhi seluruh kewajiban Hukum ?"
  • Iman mempertanyakan "apa yang Tuhan hendaki pada diri saya melalui Hukum-Nya itu ?"

Efek samping pendekatan legalisme adalah kita menjadi lupa apa sebenarnya yang dihendaki Tuhan melalui Hukum-Nya itu karena kita telah tenggelam dalam upaya memenuhi setiap detil Hukum.

Tujuan legalisme Farisi adalah bagaimana melakukan hal-hal baik untuk memperoleh pahala. Yang dimaksud dengan hal-hal baik disini antara lain bagaimana kita memenuhi ke-613 perintah Taurat sesuai dengan penafsiran para ahli Taurat.

Berlawanan dengan mentalitas yang demikian, tujuan pendekatan iman terhadap Hukum adalah bagaimana meningkatkan hubungan kita dengan Tuhan dengan berlandaskan kasih dan setia. Legalisme didasarkan kepada usaha diri-sendiri untuk memenuhi kewajiban Hukum dimana pertolongan dan pengajaran Tuhan seakanakan tidak diperlukan lagi. Pendekatan iman terhadap Hukum, sebaliknya, justru menggantungkan diri kepada kemurahan dan kekuatan Tuhan dalam memenuhi kewajiban Hukum. Seorang yang beriman harusnya berdoa seperti Daud berdoa :

  • "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mzm 119:18)
  • "Ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku." (Mzm 119:26)
  • "Buatlah aku mengerti, maka aku akan memegang Taurat-Mu; aku hendak memeliharanya dengan segenap hati." (Mzm 119:34)
  • "Hamba-Mu aku ini, buatlah aku mengerti, supaya aku tahu peringatan-peringatan-Mu." (Mzm 119:125)

Buah dari pendekatan legalisme adalah perasaan bermegah terhadap pencapaian yang kita raih. Sedangkan pendekatan iman justru semakin menumbuhkan rasa betapa kita sebenarnya tidak layak dan masih terus-menerus membutuhkan pertolongan dan pengajaran dari Tuhan.

Yeshua datang untuk mengoreksi dan mengritik pendekatan legalisme ini terutama pada diri kaum Farisi. Paulus mengerti benar hal ini sehingga dalam setiap tulisannya ia mengecam betul legalisme yang ada dalam masyarakat Yahudi. Namun sayangnya tulisan-tulisan Paulus banyak sekali disalah-pahami orang seperti contohnya dalam Galatia 3:10-14.

Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat." Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Tuhan karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: "Orang yang benar akan hidup oleh iman." Tetapi dasar hukum Taurat bukanlah iman, melainkan siapa yang melakukannya, akan hidup karenanya. Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu. (Galatia 3:10-14)

Frase di atas akan terbaca lain jika kita me-render tulisan Paulus ini dengan perspektif "Legalisme vs Iman". Ada beberapa poin yang rancu antara pengertian hukum Taurat dengan legalisme. Yang dikecam oleh Paulus sebenarnya adalah pendekatan legalismenya - bukan hukum Tauratnya. Baiklah saya kutip frase yang sama dari Complete Jewish Bible terjemahan Dr. David Stern:

Karena semua orang, yang hidup demi memenuhi kewajiban hukum Taurat semata (legalistis), berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang tidak melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat." Sekarang jelas bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Tuhan karena melakukan hukum Taurat demi kewajiban semata-mata, karena: "Orang yang benar akan hidup oleh iman dan kasih-setia." Tetapi dasar legalisme bukanlah iman,melainkan penyalah-tafsiran ayat yang mengatakan : "siapa yang melakukannya, akan hidup karenanya." Mesias telah menebus kita dari kutuk dosa yang diceritakan dalam Taurat dengan jalan menjadi kutuk demi kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" Yeshua Mesias telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman dan kasih-setia kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu. (Complete Jewish Bible, Galatia 3:10-14)

Ajaran Paulus diselewengkan

Bahwa Paulus telah mengajarkan bahwa hukum Taurat tidak berlaku lagi sekarang benar-benar diyakini bukan saja oleh umat Kristen tetapi juga oleh sekelompok orang yang disebut kaum Ebion di masa lampau yang menyingkirkan surat-surat Paulus dari kanon Alkitab mereka (Ecclesiastical History. Eusebius. 3:27:4). Mereka juga menganggap Paulus sebagai rasul gadungan. Anggapan bahwa Yeshua tidak mengajarkan membatalkan Taurat, tetapi Paulus yang melakukannya, telah didengungdengungkan sejak zaman dulu. Contohnya Toldot Yeshu, sebuah tulisan abad keenam dari kalangan Yahudi yang berisikan kisah parodi Injil, menuduh Paulus bersilang pendapat dengan Yeshua dalam masalah ini (Toldot Yeshu 6:16-41; 7:3-5). Orang Islam juga memandang hal yang sama. Mereka menganggap Paulus orang yang paling bertanggung jawab atas penyelewengan ajaran nabi Isa (Lihat Christ in Islam, Ahmad Deedat.). Bahwa Paulus yang menjadi peletak dasar teologi Kristen juga dipercaya oleh banyak kalangan. Setidaknya seorang Dispensationalis modern seperti Maurice Johnson, mengajarkan bahwa Yeshua tidak membatalkan Taurat, melainkan Paulus beberapa tahun kemudian. Ia menulis: "Jelas Tuhan membolehkan peribadatan Yahudi diteruskan selama tigapuluh tahun setelah Kristus menggenapinya oleh karena kesabaran-Nya, Tuhan secara pelan-pelan memperlihatkan kepada orang Yahudi bagaimana program-Nya sedang berubah……..Maka setelah Tuhan secara perlahan membimbing orang Kristen keluar dari agama Yahudi, Ia pada akhirnya mengutus Paulus untuk menulis kebenaran mulia yang memerdekakan ini." (Saved By "Dry" Baptism; sebuah pamflet oleh Maurice Johnson; pp.9-10)

Rasul Shim’on Kefa (Petrus) mengakui bahwa dalam surat-surat Paulus ada hal-hal yang sukar dipahami. Ia berpesan kepada kita supaya berhati-hati terhadap orang-orang yang memutarbalikkan
surat-surat Paulus tersebut.

"Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain. " (II Petrus 3:15-16)

Siapakah orang-orang yang dimaksud ? Petrus mengatakan mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal hukum (2 Pet 3:17). Apakah yang Petrus maksud disini adalah orang-orang yang tidak mengenal hukum lalu lintas, hukum dagang, hukum Romawi ? Tentu tidak. Tidak mengenal hukum, dalam konteks religius ini artinya keadaan tanpa hukum Tuhan yaitu Taurat. Petrus hendak mengatakan bahwa orang-orang yang memutar-balikkan tulisan-tulisan Paulus adalah orang-orang yang tidak mempunyai (mengerti/memelihara) Taurat. Mereka membaca surat-surat Paulus, dalam ketidak-tahuan dan ketidak-pedulian akan Taurat, dan tidak heran jika tafsiran mereka kemudian menjadi ngawur.

Inilah yang diwariskan oleh Gereja Kristen. Dalam masa Gereja Purba saja, uskup Kristen Iraneus (187 M) telah menghitung adanya duapuluh aliran yang berbeda dalam kekristenan. Pada tahun 384, Epiphanius menghitung ada delapanpuluh (Caesar and Christ, Will Durant, 1944, Simon and Schuster, New York, p. 616.). Kurangnya dasar–dasar pengenalan akan Taurat telah mendorong begitu banyak aliran sesat yang berlindung dibalik kedok "kasih" dan "kemerdekaan". "Perjanjian Baru" sudah memperingatkan kita akan hal ini dalam banyak tempat. Tentu saja tidak ada golongan gereja manapun (apalagi kalau menjadi "mayoritas") yang mau mengakui bahwa diri merekalah yang dimaksudkan oleh ayat-ayat tersebut.

Paulus sendiri mengetahui ajarannya telah disalah-pahami. Ia mengungkitnya dalam Surat Roma, dengan berkata: "Bukankah tidak benar fitnahan orang yang mengatakan, bahwa kita berkata "Marilah kita berbuat yang jahat, supaya yang baik timbul dari padanya." (Rom 3:8) Paulus membantah fitnahan terhadap ajarannya ini dengan mengatakan: "Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak!"(Rom 6:1-2) dan "Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia? Sekalikali tidak!" (Rom 6:15) Jadi Paulus disalah-pahami telah mengajarkan bahwa karena kita di bawah kasih karunia, maka kita tidak perlu lagi mengikuti hukum Taurat. Seperti yang sudah diceritakan dalam bab sebelumnya, Paulus dihadapkan kepada tudingan ini dalam kunjungannya ke Yerusalem (Kis 21). Dan Paulus membuktikan ketidak-benaran hal ini dan bahwa ia tetap menjalankan hukum Taurat dengan bernazar dan melakukan persembahan di Bait Elohim sesuai apa yang diperintahkan dalam Taurat (Bil 6:13-21). Dalam kehidupan dan pelayanannya Paulus mengajar dan mengerjakan banyak hal untuk membuktikan ia tetap memelihara Taurat. Ia:

  • Menyunat Timotius (Kis. 16:1-3)
  • Bersembahyang di sinagoga (Kis. 16:13,17:2,18:19)
  • Merayakan hari raya Hag ha-Matzah/Roti Tidak Beragi (Kis. 20:6)
  • Merayakan hari raya Shavuot/Pentakosta (Kis. 20:16; 1 Kor 16:8)
  • Berpuasa pada hari raya Yom Kippur/Pendamaian (Kis. 27:9)
  • Bernazar dan mentahirkan diri (Kis. 18:18,21:26)
  • Melakukan persembahan korban di Bait Elohim (Kis. 21:26, 24:17) 

Di samping itu beberapa perkataannya yang berkaitan dengan hal ini antara lain:
  • Sebaliknya Paulus membela diri, katanya: "Aku sedikitpun tidak bersalah, baik terhadap hukum Taurat orang Yahudi maupun terhadap Bait Elohim atau terhadap Kaisar." (Kisah Para Rasul 25:8)
  • "Saudara-saudara, meskipun aku tidak berbuat kesalahan terhadap bangsa kita atau terhadap adat istiadat nenek moyang kita, namun aku ditangkap di Yerusalem dan diserahkan kepada orang-orang Roma." (Kisah Para Rasul 28:17)
  • "Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya." (Roma 3:31)
  • "Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik." (Roma 7:12)
  • "Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Eloah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia." (Titus 3:8)

Dan apakah pekerjaan yang baik itu jika bukan dengan memelihara perintah-perintah Taurat Tuhan yang kudus, benar dan baik ? Perhatikan dalam ayat-ayat selanjutnya Paulus berpesan kepada Titus supaya tidak perlu berdebat terus menerus kepada orang yang menyalah-pahami Taurat Tuhan (bisa dari kalangan Yahudi maupun yang bukan Yahudi). Perhatikan pula bagaimana Paulus berpesan supaya Titus menolong sebaik-baiknya Zenas, seorang ahli Taurat! (lihat Titus 3:9-14).

Beberapa ayat yang sering disalah-tafsirkan

  • Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorangpun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat. (Galatia 2:16) Paulus menggunakan frase ini untuk menyatakan metode keselamatan yang salah, yang berlawanan 180 derajat dengan iman Messianis. Penemuan manuskrip Laut Mati membantu kita untuk memahami apa yang dimaksud oleh Paulus dengan “melakukan hukum Taurat”. Dalam sebuah dokumen yang diberi nama 4QMMT (4Q394-399) kita menjumpai istilah yang sama dipakai untuk merujuk kepada suatu pengajaran yang menerangkan bahwa manusia dibenarkan karena melakukan hukum Taurat. Menurut Paulus "melakukan hukum Taurat supaya dibenarkan di hadapan TUHAN" bukanlah apa yang diajarkan dalam Alkitab, melainkan suatu bentuk penyimpangan yang tidak benar. Tetapi bukan berarti ia mengatakan bahwa kita mesti meninggalkan hukum Taurat.
  • "Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia." (Roma 6:14) Paulus memandang bahwa keadaan "di bawah hukum Taurat" dan "di bawah kasih karunia" merupakan dua hal yang bertolak-belakang. Kita tidak bisa berada di bawah keduanya. Karena kita selalu berada di bawah kasih karunia (lihat Kej 6:8; Kel 33:12, 17; Hak 6:17; Yer 31:2), kita tidak pernah berada "di bawah hukum Taurat". Sebab hukum Taurat diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum Taurat (lihat Mrk 2:27). Yang dihendaki Tuhan ialah bahwa kita memelihara Taurat karena kasih setia kita kepada-Nya ("with the Law") dan bukannya malah merasa terbeban oleh karenanya ("under the Law"). Jadi "di bawah hukum Taurat" sebenarnya juga bukan apa yang diajarkan dalam Alkitab, tetapi suatu bentuk penyimpangan yang tidak benar. 
  • "Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat." (Roma 7:6) Marilah kita membuka Roma 7:1-7. Paragraf ini ditujukan Paulus kepada orang-orang Yahudi dalam jemaat Roma dengan menyebut mereka "orang yang mengetahui hukum" (ay. 1). Sebab itu Paulus mengambil ilustrasi dari hukum perkawinan dalam Taurat supaya mereka lebih mudah mengerti. Seorang wanita terikat dengan suaminya sepanjang suaminya masih hidup. Jika suaminya sudah mati barulah ia boleh menikah dengan orang lain. Kita disini diibaratkan sebagai sang istri (ay. 2-3). Dalam pengertian hukum Taurat, kita sekarang telah dibebaskan dari suami lama kita yaitu dosa sehingga kita boleh menikah dengan suami baru kita yakni Mesias (ay. 4-6). Paulus sadar bahwa para pembacanya akan mudah menyalah-pahami apa yang ia bicarakan. Ia khawatir para pembaca-nya akan menangkap kesan keliru dari ilustrasinya itu dengan mengira bahwa yang ia maksudkan dengan dosa adalah Taurat. "Sekali-kali tidak !", Paulus berkata dengan tegas (ay. 7). Bukan itu yang dimaksud Paulus. Suami kita yang lama adalah DOSA yang mana menurut hukum Taurat kita sudah dibebaskan darinya. Jadi TAURAT BUKANLAH DOSA. Dan karena Taurat bukan dosa maka Taurat BUKAN suami kita yang lama dan itu berarti kita TIDAK dibebaskan dari Taurat untuk menjadi pengantin Mesias. Kita dibebaskan dari DOSA supaya kita boleh menjadi pengantin Mesias. Hukum Taurat adalah alat atau perangkat hukum yang mengizinkan kita untuk memilih : menikah dengan DOSA atau dengan MESIAS. Taurat menjelaskan apa itu dosa dan apa itu Mesias. Anda tidak bisa menikah dengan kedua-duanya.
  • "Dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib." (Kolose 2:14) Pengertian yang keliru terhadap ayat ini disebabkan oleh terjemahan yang buruk. Jika secara literal diterjemahkan dari teks Alkitab Peshitta yang berbahasa Aramaik maka akan terbaca demikian: "Dan Ia telah menghapuskan dengan ketetapan-Nya, surat hutang kita yang menuntut kita, dan Ia mengambilnya dari tengah-tengah kita dan mengikatnya pada balok [salib]-Nya."
  • "Having abolished in his flesh the enmity, even the law of commandments contained in ordinances" (King James Bible, Efesus 2:15a) Ayat ini juga merupakan hasil terjemahan yang buruk. Dalam Peshitta tertulis: "dan hukum (namosa) karena perintah (puqada) dalam ketetapannya (puqdana)." Kata namosa dalam Aramaik adalah sama dengan torah dalam bahasa Ibrani, puqada sama dengan mitzvah dan puqdana sama dengan mitzvot (mis. Mrk 10:19). Sedang kata ganti "karena" disebut sebagai klausa dalet yang dapat diartikan "of", "that", "which", atau "because". Dalam ayat ini artinya adalah "because" seperti halnya dalam Daniel 3:29, 4:9, 6:3, 23 dan 7:11. Kata kerja pasif "ditiadakan" (abolished) yang digunakan dalam Peshitta adalah dalam bentuk singular sehingga tidak mungkin mempunyai dua subyek. Jadi yang ditiadakan adalah rasa permusuhan. Ayat di atas kemudian dapat diterjemahkan menjadi: "Dan rasa permusuhan telah ditiadakan dengan jadinya Ia sebagai manusia dan dengan hukum Taurat, karena perintah dalam ketetapannya."

Kesimpulan dari bahasan di atas jelas sampai pada suatu fakta bahwa Paulus tetap memelihara Taurat dan tidak pernah mengajarkan hal sebaliknya. Penafsiran terhadap tulisan-tulisan Paulus yang dilakukan dengan cara-cara pemikiran Hellenistis yang anti-Taurat telah membawa Kristen ke dalam jurang kesalahan.