Rabu, 27 Januari 2021

MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN MUSHAF MADINAH

 DITULIS OLEH FAKHRUR ROZI PADA .

DUA PERBEDAAN PENULISAN RASM DALAM AL-QUR'AN CETAK

Dalam mushaf Al-Quran cetak yang beradar saat ini, kita mengenal dua sistem penulisan rasm Al-Qur'an yang lazim digunakan. Pertama, sistem penulisan dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i, yaitu penulisan kata sesuai dengan pelafalan atau bacaannya.

Namun, penting dicatat bahwa kata-kata yang sudah masyhur dan baku, seperti ar-rahman (الرحمن), as-salah (الصلوة), az-zakah (الزكوة), ar-riba (الربوا), dan beberapa kata lainnya, seperti zalika (ذلك), ha’ula’i (هؤلاء), maka penulisannya tetap sebagaimana tulisan yang masyhur, sehingga tidak berbeda dengan mushaf yang ditulis dengan rasm usmani.

Jadi, yang dituliskan dengan menggunakan rasm qiyasi ialah terhadap kata-kata yang tidak memiliki tulisan baku. Dengan kata lain, tidak ada satu pun Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya dengan rasm qiyasi atau rasm imla’i.

Kita ambil contoh, Al-Baqarah 2-3. Dalam kedua ayat ini yang ditulis dengan rasm qiyasi ialah (الكتاب) dan (رزقناهم) keduanya ditulis dengan alif setelah ta’ dan setelah nun. Sementara (ذلك) dan (الصلوة) tetap ditulis dengan tulisan yang masyhur yang sama dengan penulisan dengan rasm usmani.

Adapun mushaf yang ditulis dengan rasm qiyasi atau imla’i seperti Mushaf Turki, Mushaf Menara Kudus (Mushaf Turki), dan Mushaf Indonesia jenis Bahriyyah.

Kedua, sistem penulisan dengan rasm usmani, yaitu sistem penulisan Al-Qur’an sebagaimana yang telah ditulis pada masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan, oleh tim yang dipimpin oleh Zaid bin Sabit. Penamaannya dengan rasm usmani adalah karena dinisbahkan kepada Khalifah Usman bin Affan sebagai khalifah yang memerintahkan penulisan kembali Al-Qur’an pada masa itu.

Dalam rasm usmani terdapat dua riwayat paling masyhur yang diikuti, yang dikenal dengan sebutan Syaikhani fi ‘ilm ar-Rasm al-‘Usmani (Dua ulama yang kredibel dalam ilmu rasm usmani) yaitu: (1) riwayat Abu ‘Amr Ad-Dani, yang lebih dikenal dengan Ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab Al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar, dan (2) riwayat Abu Dawud Sulaiman bin Najah yang dikenal dengan Abu Dawud (w. 496 H.) dalam Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil.

Kebanyakan mushaf cetak yang beredar di dunia saat ini ditulis dengan menggunakan rasm usmani. Letak perbedaannya pada pilihan riwayat yang diikuti. Mushaf Indonesia, Libya, Bombay, dan Iran mengikuti riwayat Ad-Dani. Sementara mushaf Madinah, Mesir, dan beberapa negara lain yang merujuk kepada kedua negara ini, mengikuti riwayat Abu Dawud. [Ed: Bagus Punomo]


PERBANDINGAN MUSHAF STANDAR INDONESIA DENGAN MUSHAF MADINAH

Apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam menetapkan mushaf standar Indonesia, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bukan tanpa dasar dan alasan. Di antara alasan penetapan tersebut adalah dalam rangka memudahkan masyarakat Indonesia yang memang bukan orang Arab untuk mengucapkan lafadz dan ayat Al-Qur’an yang notabene menggunakan Bahasa Arab. Faktor ‘azam inilah yang menjadi salah satu bahan masukan para ulama dalam merumuskan mushaf standar Indonesia. Bagi orang Arab, melafalkan ayat Al-Qur’an tentu akan lebih mudah karena menggunakan bahasa dan tulisan mereka sehari-hari, sementara masyarakat Indonesia tidak demikian.

Alasan untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam membaca Al-Qur’an seperti dijelaskan sebelumnya bukan sekadar diperkirakan atau diduga semata-mata, tapi dikukuhkan berdasarkan riset yang dilakukan peneliti LPMQ tahun 2013. Dalam penelitian tersebut terungkap, bahwa kecenderungan masyarakat dalam menggunakan mushaf standar Indonesia diantaranya adalah karena faktor kemudahan dalam membacanya. Kemudahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan membaca sesuai dengan kaidah tajwid, seperti ketika terjadi bacaan idgam, ikhfa, iqlab, bacaan panjang, dan beberapa kaidah bacaan tajwid lainnya.

Di Mushaf Madinah, ketika terjadi beberapa hukum bacaan tajwid pada ayat Al-Qur’an tidak ada tanda yang membantu bagaimana membaca dan membunyikannya. Sebagai contoh, pada lafdzul jalalah (lafadz Allah), Mushaf Madinah tidak mencantumkan fathah berdiri (fathah qaimah) pada lam yang memang harus dibaca panjang (dua harokat), sementara di mushaf standar Indoensia, lam pada lafadz Allah dibuat fathah berdiri agar dibaca panjang dua harakat. Tanda tersebut diberikan agar masyarakat Indonesia jangan sampai salah dalam memunyikan lafadz Allah. Orang Arab barangkali tidak perlu karena mereka sudah terbiasa membunyikan lafdz tersebut dengan lam yang dibaca panjang. Demikian halnya dengan hukum bacaan idgam, ikhfa, dan beberapa bacaan tajwid lainnya.

Mukernas Ulama Al-Qur’an dalam kaitan ini menetapkan sejumlah tanda baca pada Mushaf Standar Indonesia yang tidak ada pada msuhaf Saudi. Berikut adalah beberapa perbandingan perbedaan penulisan lafadz antara Mushaf Madinah dengan mushaf standar Indonesia;

 

Pada buku Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang ditulis oleh Zainal Arifin,dkk, dijelaskan 8 tanda, lambang yang secara prinsip dimaksudkan untuk membantu proses membaca teks Al-Qur’an agar tepat bacaan (qiraah)-nya sesuai hukum tajwid. Kedelapan tanda itu adalah,1) idgam, baik bi gunnahbi la gunnahmimiymutamasilainmutajanisain, maupun mutaqoribain, semuanya diberi tanda tasydid; 2) iqlab, dengan tanda mim kecil; 3) Mad wajib; 4) Mad jaiz; 5) Saktah; 6) imalah; 7) isymam; dan 8) Tashil.

Membaca Al-Qur’an yang baik dan benar memang harus menggunakan metode talaqi musyafahah, bertatap muka langsung dengan guru karena dengan talaqi inilah murid bisa mengetahui bagaimana membunyikan huruf sesuai dengan makhaj dan sifatnya, bagaimana membaca idgam, ikhfa dan hukum bacaan lainnya dengan benar. Namun demikian, tulisan juga memiliki peran yang signifikan bagi seorang dalam membunyikan lafadz sesuai dengan kaidah yang ada. Karena itulah mushaf Standar Indonesia menetapkan hal ini dan menjadi acuan bagi para penerbit dalam menerbitkan dan mencetak mushaf Al-Qur’an di Indonesia.

[Mustopa, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an]


Sumber:

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/386

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/329

Selasa, 05 Januari 2021

Sejarah Tipitaka (Kitab Suci Agama Buddha)

SEJARAH TIPITAKA





PENDAHULUAN

Sudah menjadi ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha adalah Tipitaka. Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan dalam kongres umat Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu itu dihadiri tujuh majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda dan Mahayana ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci Agama Buddha (Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang dipergunakan oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).

Kitab Suci Tipitaka dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya PitakaSutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).

Selain yang berbahasa Pali (Tipitaka), ada juga kitab suci Agama Buddha yang menggunakan Bahasa Sansekerta, yaitu yang disebut Tripitaka, tetapi di antara kedua versi Pali dan Sansekerta itu pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pali) / Pali Canon ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi Agama Buddha mazhab Theravãda. 

SEJARAH TIPITAKA (ringkasan)

Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).

SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
·         Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan.
·         Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat.
·         Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha.
·         Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.

Tujuan Sidang:
·     Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan.

·       Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Kesimpulan/Hasil Konsili I:
·         Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada.

·         Mengadili Y.A. Ananda

·         Mengucilkan Chana

·         Agama Buddha masih utuh.

SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
  • Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
  • Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Vesali.
  • Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.

Tujuan Sidang:

·         Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).

Kesimpulan/Hasil Konsili II:

·         Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.

·         Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.

SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
  • Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I).
  • Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
  • Sidang diadakan di Pataliputta.
  • Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.

Tujuan Sidang:

·         Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha.

·         Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).

·         Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.

Kesimpulan / Hasil Konsili III:

·         Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.

·         Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III.

·         Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.

Keterangan:
·           Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
·           Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
  • Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
  • Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
  • Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.

Tujuan Sidang:

·         Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.

Kesimpulan / Hasil Konsili IV:

·         Mengulang Tipitaka.

·         Menyempurnakan komentar Tipitaka.

·         Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar.

Keterangan:

·           Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda. 


SEJARAH TIPITAKA (uraian)

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.

Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".

Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.

Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.

Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

SKEMA TIPITAKA




URAIAN SINGKAT TIPITAKA


Berikut ini akan diuraikan secara singkat bagian-bagian dari Kitab Suci Tipitaka Pali.

VINAYA PITAKA

Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni yang terdiri atas 3 bagian:

1.     Sutta Vibhanga 
Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari:

o    Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.

o    Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak. 

2.     Khandhaka 

Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga.

o    Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha); dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.

o    Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu; kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali. 


3.     Parivara 

Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.



SUTTA PITAKA

Sutta Pitaka terdiri atas 5 kumpulan (nikaya) atau buku, yaitu:


1.     Digha Nikaya 
Merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang dan terbagi menjadi 3 vagga (Silakkhandhagga, Mahavagga, Patikavagga). Beberapa di antara Sutta-sutta yang terkenal adalah:

o    Bramajala Sutta: "Jala para Brahma" Sang Buddha bersabda bahwa Beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi 62 bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.

o    Samannaphala Sutta: "Pahala yang dimiliki oleh tiap pertapa". Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, Beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang Bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.

o    Ambattha Sutta: Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.

o    Kutadanta Sutta: Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.

o    Mahali Sutta: Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi dari pada ini adalah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.

o    Kassapasihanada Sutta: Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.

o    Tevijja Sutta: tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.

o    Mahapadana Sutta: Penjelasan Sang Buddha mengenai 6 orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.

o    Mahanidana Sutta: mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.

o    Mahaparinibbana Sutta: cerita tentang hati-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.

o    Sakkapanha Sutta: Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan 10 persoalan dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.

o    Maha Satipatthana Sutta: Khotbah mengenai 4 macam meditasi (mengenai badan jasmani, perasaan, pikiran dan Dhamma) disertai penjelasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Payasi Sutta: Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di surga dan melihat keadaannya.

o    Pitika Sutta: cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula banda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.

o    Cakkavattisihanada Sutta: cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta tentang Buddha Metteyya yang akan datang.

o    Aganna Sutta: perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.

o    Sampasadaniya Sutta: percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Sang Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.

o    Lakkhana Sutta: Penjelasan mengenai 32 tanda "Orang Besar" (Raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi 20 bagian; tiap bagian dimulai dengan "Disini dikatakan".

o    Sigalovada Sutta: Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu adalah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, guru, sahabat dan lain-lain).


2.     Majjhima Nikaya
Merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat khotbah-khotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta diantaranya adalah :

o    Mulapariyaya Sutta: pelajaran mengenai akar segala benda mulai dari unsur-unsur sampai Nibbana.

o    Satipatthana Sutta: sama dengan di Digha Nikaya, tetapi tanpa ulasan mengenai 4 Kesunyataan.

o    Kakacupama Sutta: "Tamsil Gergaji". Perihal tidak marah jika dihina. Seorang Bhikkhu yang marah seandainya anggota badannya digergaji satu demi satu bukanlah siswa Sang Buddha.

o    Alagaddupama Sutta : "Tamsil seekor ular air". Seorang Bhikkhu dimarahi karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran. Mempelajari Dhamma secara tidak benar bagaikan manangkap seekor ular pada ekornya.

o    Cula Saccaka Sutta : diskusi umum antara Sang Buddha dan seorang Jain Saccaka mengenai lima khandha seseorang.

o    Maha Saccaka Sutta : mengenai perenungan atas nama dan rupa, dengan penjelasan oleh Sang Buddha tentang ia meninggalkan keduniawian, pengendalian nafsu dan penerangan sempurna.

o    Seleyyaka Sutta : khotbah kepada para Brahmana dari Sala mengenai sebab-sebab mengapa makhluk ada yang memasuki surga dan ada yang menuju neraka.

o    Vedalla Sutta (Maha dan Cula) : 2 khotbah dalam bentuk komentar atas istilah-istilah kejiwaan. Yang pertama oleh Sariputta kepada Mahakotthita dan yang kedua oleh Bhikkhuni Dhammadinna kepada upasaka Visakha.

o    Brahmanimantanika Sutta : Sang Buddha menceritakan kepada para Bhikkhu bagaimana Beliau pergi ke surga Brahma untuk memberi pelajaran kepada Baka, yakni salah satu penghuni surga, tentang ketidakbenaran pendapat tentang kekekalan.

o    Maratajjaniya Sutta: cerita tentang Mara yang menyelusup dalam perut Moggallana. Moggallana memerintahkan keluar dan memberikan pelajaran dengan mengingatkannya akan suatu masa ketika Moggallana sendiri terlahir sebagai Mara bernama Dusi dan Mara adalah kemenakannya.

o    Kandaraka Sutta: percakapan dengan Pessa dan Kandaraka dan khotbah tentang empat jenis orang.

o    Jivaka Sutta: Jivaka mengajukan pertanyaan apakah benar Sang Buddha menyetujui pembunuhan dan memakan daging. Sang Buddha menunjukkan dengan contoh bahwa itu tidak benar dan bahwa seorang bhikkhu makan daging hanya jika ia tidak melihat, mendengar dan menduga bahwa daging itu khusus dibuat untuknya.

o    Upali Sutta: cerita tentang Upali yang diutus oleh pemimpin Jaina Nataputta untuk berdebat dengan Sang Buddha, tetapi akhirnya menjadi pengikut.

o    Kukkuravatika Sutta: percakapan mengenai kamma antara Sang Buddha dengan dua orang pertapa, yang satu diantara mereka hidup seperti anjing dan satu lagi seprti lembu.

o    Abhayarajakumara Sutta: Pangeran Abhaya diutus oleh seorang Jain Nataputta untuk membantah Sang Buddha dengan megajukan pertanyaan berganda tentang kutukan hebat yang diterima oleh Devadatta.

o    Bahuvedaniya Sutta: mengenai penggolongan perasaan-perasaan dan perasaan tertinggi.

o    Maha Rahulovada Sutta: nasehat kepada Rahula tentang pemusatan pikiran dengan jalan menarik dan mengeluarkan napas serta memusatkan pikiran kepada unsur-unsur.

o    Ratthapala Sutta: cerita mengenai Ratthapala yang kedua orang tuanya tidak menyetujui ia memasuki Sangha dan membujuknya untuk kembali menjadi umat biasa.

o    Makhadeva Sutta: cerita mengenai Sang Buddha dalam kehidupannya di masa lampau sebagai Raja Makhadeva dan keturunannya sampai Raja Nimi.

o    Angulimala Sutta: cerita mengenai Angulimala, penyamun yang kemudian menjadi Bhikkhu.

o    Piyajatika Sutta: nasehat Sang Buddha kepada seorang laki-laki yang kehilangan anak dan pertengkaran antara Raja Pasenadi dan permaisurinya mengenai hal itu.

o    Brahmayu Sutta: mengenai 32 tanda pada tubuh Sang Buddha dan penerimaan Brahmana Brahmayu sebagai pengikut Buddha.

o    Sela Sutta: Pertapa Keniya mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk jamuan makan. Brahmana Sela melihat 32 tanda dan menjadi siswa. (Ini terdapat pula dalamSn III 7).

o    Vasettha Sutta: Khotbah yang sebagian besar dalam bentuk syair mengenai brahmana sejati, baik karena kelahiran maupun perbuatan (ini terdapat pula dalam Sn IIII 9).

o    Subha Sutta: mengenai soal apakah seseorang dapat berbuat kebaikan lebih banyak sebagai kepala keluarga atau dengan jalan meninggalkan keduniawian.

o    Isigili Sutta: Sang Buddha menjelaskan nama bukit Isigili dan menyebutnya nama-nama Pacceka Buddha yang dahulu tinggal di sana.

o    Maha Cattarisaka Sutta: penjelasan mengenai Jalan Mulia Beruas Delapan dengan tambahan mengenai pengetahuan yang benar dan emansipasi yang benar.

o    Anapanasati Sutta: perihal cara dan jasa melatih meditasi masuk dan keluarnya napas.

o    Kayagatasati Sutta: perihal cara dan jasa meditasi badan jasmani.

o    Cula Kammavibhanga Sutta: Sang Buddha menerangkan sifat-sifat batin dan jasmani orang yang berbeda-beda dan keberuntungan mereka menurut kamma.

o    Maha Kammavibhanga Sutta: seorang pertapa secara keliru menuduh bahwa Sang Buddha mengatakan kamma tidak berguna dan Sang Buddha menerangkan pandangannya sendiri.

o    Dhatuvibhanga Sutta: uraian mengenai unsur-unsur. Khotbah ini dimasukkan dalam cerita Pukkusati, seorang siswa yang belum pernah melihat Sang Buddha akan tetapi mengenalinya melalui ajarannya.

o    Dakkhinavibhanga Sutta: Mahapajapati menghadiahkan satu pasang jubah kepada Sang Buddha, yang menjelaskan berbagai jenis orang yang patut menerima pemberian dan berbagai jenis orang yang memberi.


3.     Samyutta Nikaya
Merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta (menurut "An analysis of the Pali Canon" [wheel no.217/218/219/220] ada 2.889 sutta). Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta. Beberapa Samyutta di antaranya sebagai berikut:

o    Mara: perbuatan-perbuatan bemusuhan dari Mara terhadap Sang Buddha dan para siswaNya.

o    Bhikkhuni: bujukan yang tidak berhasil dari Mara terhadap para bhikkuni dan perbedaan pendapatnya dengan mereka.

o    Brahma: Brahma Sahampati memohon Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma kepada dunia.

o    Sakka: Sang Buddha menguraikan sifat-sifat Sakka, Raja para Dewa.

o    Nidana Samyutta: penjelasan mengenai Paticcasamuppada (doktrin sebab musabab yang saling bergantungan).

o    Abhisamaya: dorongan untuk membasmi kekotoran batin secara tuntas.

o    Khandha Samyutta: kumpulan unsur, fisik dan mental yang membentuk individu.

o    Kilesa: kekotoran batin muncul dari enam pusat indria dan kesadaran indria.

o    Vedana: tiga jenis perasaan dan sikap yang benar terhadap perasaan itu.

o    Citta: alat indria dan obyeknya pada hakekatnya tidak jahat, melainkan kehendak-kehendak tidak baik yang timbul melalui kontak mereka.

o    Asankhata: tidak terbentuk (Nibbana)

o    Magga Samyutta: jalan beruas delapan.

o    Bojjhanga: tujuh faktor Penerangan Agung.

o    Satipatthana: empat dasar kesadaraan.

o    Indriya: lima kemampuan

o    Sammappadhana: empat macam usaha benar.

o    Bala: lima kekuatan.

o    Iddhipada: empat kekuatan batin.

o    Anuruddha: kekuatan-kekuatan gaib yang dicapai oleh Anuruddha melalui kesadaran.

o    Jhana: empat jhana.

o    Anapana: kesadaraan dari pernapasan.

o    Sotapatti: gambaran tentang seorang "penakluk arus".

o    Sacca: empat kesunyataan mulia.


4.     Anguttara Nikaya
Merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 9.577 sutta (menurut "An Analysis of the Pali Canon & Buddhism" oleh Christmas Humphreys ada 2.308 sutta) dan terbagi atas 11 nipata (bagian). Sutta-sutta di sini disusun menurut urutan bernomor untuk memudahkan pengingatan.

o    Ekaka Nipata: (yang serba satu) misalnya pikiran terpusat/tidak terpusat; usaha ketekunan Sang Buddha dan sebagainya.

o    Duka: (yang serba dua), dua jenis kamma vipaka yaitu yang membuahkan hasil dalam kehidupan sekarang maupun yang membawa kepada tumimbal lahir dan seterusnya; dua jenis dana; dua golongan Bhikkhu dan sebagainya.

o    Tika: (yang serba tiga), tiga pelanggaran melalui jasmani, ucapan dan pikiran; tiga perbuatan yang patut dipuji yaitu kedermawanan, penglepasan, dan pemeliharaan orang tua; dan sebagainya.

o    Catuka: (yang serba empat), empat jenis orang yaitu tidak bijaksana dan tidak beriman; tidak bijaksana tapi beriman; bijaksana tapi tidak beriman, bijaksana dan beriman; empat jenis kebahagiaan (empat Brahma Vihara, empat sifat yang menjaga Bhikkhu dari kekeliruan); empat cara pemusatan diri dan sebagainya.

o    Pancaka: (yang serba lima), lima ciri yang baik dari seorang siswa; lima rintangan batin; lima obyek meditasi; lima sifat buruk; lima perbuatan baik; dan sebagainya.

o    Chakka: kewajiban rangkap enam dari seorang Bhikkhu.

o    Sattaka: tujuh jenis kekayaan; tujuh jenis kemelekatan.

o    Atthaka: delapan sebab kesadaran; delapan sebab pemberian dana; delapan sebab gempa bumi.

o    Navata: sembilan perenungan; sembilan jenis manusia.

o    Dasaka: sepuluh perenungan, sepuluh jenis penyucian batin.

o    Ekadasaka: sebelas jenis kebahagian / jalan menuju nibbana; sebelas sifat-sifat baik dan buruk dari seorang pengembala dan Bhikkhu.


5.     Khuddaka Nikaya 
Merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu:

o    Khuddaka Patha: bacaan dari bagian-bagian singkat; berisi empat teks dan lima sutta, yaitu:

§   Saranattaya: pengulangan tiga kali berlindung pada Buddha,Dhamma dan Sangha.

§   Dasasikkhapada: sepuluh sila yang harus dipatuhi oleh para samanera. Lima pertama harus dipatuhi oleh umat biasa.

§   Dvattimsakara: daftar 32 unsur pokok badan jasmani.

§   Kumarapanha: sepuluh macam tanya jawab untuk para samanera.

§   Mangala Sutta: sebuah syair untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah kebahagian tertinggi itu.

§   Ratana Sutta: sebuah syair mengenai Tiratana dalam hubungannya untuk menerangkan kepada para makhluk halus.

§   Tirokudda Sutta: syair mengenai pelimpahan jasa untuk arwah sanak keluarga yang sudah meninggal, yang terlahir di alam yang menyedihkan.

§   Nidhikanda Sutta: syair tentang pengumpulan harta sejati.

§   Metta Sutta: syair tentang cinta kasih universal.


o    Dhammapada: kata-kata dari Dhamma; kumpulan 423 bait yang dibagi dalam 26 vagga.

o    Udana: kumpulan dari 80 udana yang terbagi menjadi 8 vagga. Kitab ini memuat khotbah Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.

§  Bodhi Vagga: menggambarkan kejadian-kejadian tertentu setelah pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha, termasuk khotbah termasyur kepada Bahiya yang menekankan kehidupan pada saat sekarang.

§  Mucalinda: vagga ini dinamai menurut nama raja Naga yang melindungi Sang Buddha dengan kepalanya.

§  Nanda: Sang Buddha meyakinkan saudara tirinya, Nanda, tentang kehampaan hidup duniawi. Juga memuat nasehat-nasehat kepada Sangha.

§  Meghiya : tanpa memeprdulikan nasehat Sang Buddha, Meghiya mengasingkan diri ke sebuah hutan mangga untuk berlatih meditasi, tetapi batinnya segera diserang pikiran-pikiran tidak baik. Setelah kembali kepada Sang Buddha, ia diberitahukan bahwa lima faktor harus ditumbuhkan oleh orang yang batinnya belum berkembang yaitu persahabatan yang baik, moralitas, percakapan yang menguntungkan, keteguhan hati, dan pengetahuan. Juga memuat cerita-cerita Sundari dan serangan terhadap Sariputta oleh seorang Yakkha.

§  Sonathera: memuat kisah kunjungan Raja Pasenadi kepada Sang Buddha, khotbah kepada Suppabuddha yang menderita penyakit kusta, penjelasan mengenai delapan ciri Sasana dan tahun pertama dari kehidupan Sona sebagai bhikkhu.

§  Jaccandha: memuat gambaran tentang Sang Buddha akan mencapai parinibbana, percakapan Raja Pasenadi, dan kisah raja yang menyuruh orang-orang yang buta sejak lahir (jaccandha) untuk masing-masing meraba dan menggambarkan seekor gajah - untuk membantu menjelaskan realisasi sebagian dari kebenaran.

§  Cula: memuat peristiwa-peristiwa kecil, terutama mengenai para Bhikkhu secara perorangan.

§  Pataligama: memuat definisi termasyur dari Nibbãna sebagai yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak dibuat, tidak dibentuk, santapan Sang Buddha yang terakhir dan nasehatnya kepada Ananda mengenai Cunda, dan kunjungan ke Pataligama tempat Sang Buddha mengungkapkan lima manfaat menempuh kehidupan suci dan lima kerugian tidak melakukan hal itu.

o    Itivuttaka : kumpulan 112 sutta pendek dalam 4 nipata yang masing-masing disertai syair. Syair-syair ini biasanya dimulai dengan kata "Iti Vuccati" (demikian dikatakan). Karya ini terdiri atas ajaran-ajaran etika dari Sang Buddha

o    Sutta Nipata : kumpulan ini terdiri atas lima vagga yang memuat 71 sutta. Sutta-sutta itu diantaranya sbb.:

§   Uraga Sutta: Bhikkhu yang menyingkirkan semua nafsu (buruk) manusia, kemarahan, kebencian, kerakusan, dll.; dan terbebas dari khayalan dan ketakutan, diperbandingkan dengan seekor ular yang berganti kulit.

§   Dhaniya Sutta: ketenangan duniawi diperbandingkan dengan ketenangan Sang Buddha.

§   Kasibharadvaja Sutta: pekerjaan yang berguna secara sosial atau duniawi diperbandingkan dengan usaha-usaha Sang Buddha yang tidak kurang pentingnya untuk mencapai Nibbãna.

§   Cunda Sutta: Sang Buddha menguraikan tentang 4 jenis samana, seorang Buddha, seorang Arahat, seorang Bhikkhu yang sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dan seorang Bhikkhu penipu.

§   Parabhava Sutta: sebab-sebab kejatuhan seseorang dalam bidang moral dan batin diuraikan.

§   Vasala atau Aggika Bharadvaja Sutta: untuk menyangkal tuduhan orang buangan, Sang Buddha menjelaskan bahwa karena perbuatanlah, bukan garis keturunan, orang menjadi orang buangan atau brahmana.

§   Metta Sutta: unsur-unsur pokok latihan cinta kasih terhadap semua mahluk.

§   Hemawata Sutta: dua orang jakkha ragu-ragu tentang sifat-sifat Buddha yang dinyatakan olehnya. Sang Buddha merumuskan uraiannya dengan menjelaskan jalan pembebasan dari kematian.

§   Alavaka Sutta : Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan Yakkha Alavaka mengenai kebahagiaan, pengertian, jalan ke Nibbana.

§   Vijaya Sutta: suatu analisa tubuh dalam bagian-bagian pokoknya (yang tidak bersih) dan sebutan Bhikkhu yang mencapai Nibbãna karena memahami sifat sejati badan jasmani.

§   Muni Sutta: konsepsi idealitas seorang muni atau orang bijaksana yang menjalani kehidupan menyepi yang bebas dari nafsu-nafsu.

§   Ratana Sutta: pujian kepada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha).

§   Mahamangala Sutta: 38 macam petunjuk-petunjuk etika dalam menempuh kehidupan suci, mulai dengan petunjuk-petunjuk etika dasar dan mencapai puncaknya pada penyelaman Nibbãna.

§   Suciloma Sutta: untuk menanggapi sikap mengancam dari Yakkha Suciloma, Sang Buddha menyatakan bahwa nafsu, kebencian, keraguan, dan sebagainya bermula dengan badan jasmani, keinginan, dan konsep aku.

§   Rahula Sutta: Sang Buddha menasehati putra-Nya yang telah ditahbiskan, Rahula, untuk menghormati orang bijaksana, bergaul dan berhubungan sesuai dengan prinsip-prinsip seorang pertapa.

§   Vangisa Sutta: Sang Buddha memberi kepastian kepada Vangisa bahwa gurunya yang telah wafat, Nigrodhakappa, telah mencapai Nibbãna.

§   Dhammika Sutta: Sang Buddha menjelaskan kepada Dhammika kewajiban masing-masing dari seorang Bhikkhu dan umat biasa; umat biasa diharapkan untuk mentaati Pancasila dan memperingati hari-hari Uposatha.

§   Pabbajja Sutta : Raja Bimbisara dari Magadha menggoda Sang Buddha dengan kekayaan meterinya dan menanyakan garis keturunannya. Sang Buddha menunjukkan kenyataan tentang kelahiran di antara kaum Sakya dari Kosala dan Ia telah mengatasi khayal dari kenikmatan-kenikmatan indria.

§   Padhana Sutta: uraian yang jelas sekali mengenai godaan Mara menjelang pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha.

§   Subhasita Sutta: bahasa para Bhikkhu hendaknya baik dalam penuturannya, menyenangkan, tepat, dan benar.

§   Salla Sutta: kehidupan itu berlangsung singkat dan semua kehidupan terancam oleh kematian, tetapi orang bijaksana yang memahami sifat kehidupan tidak merasa takut.

§   Vasetta Sutta: dua orang pemuda, Bharadvaja dan Vasettha, membahas masalah martabat brahmana karena kelahiran, tetapi Vasettha mengatakan bahwa seseorang menjadi brahmana hanya karena perbuatan. Sang Buddha akhirnya menegaskan pandangan Vasettha sebagai pendapat yang benar.

§   Kokaliya Sutta: Kokaliya secara keliru menganggap keinginan-keinginan jahat berasal dari Sariputta dan Moggallana dan akhirnya menimbulkan penderitaan, karena kematian dan tumimbal lahir di salah satu alam neraka. Sang Buddha kemudian menyebutkan satu persatu neraka-neraka yang berbeda dan menggambarkan hukuman atas perbuatan mengumpat dan menfitnah.

§   Nalaka Sutta: ramalan Pertapa Asita mengenai Buddha Gotama yang akan datang. Putra adik perempuannya, Nalaka, memiliki kebijaksanaan tertinggi yang dibentangkan kepadanya oleh Sang Buddha.

§   Dvayatanupassana Sutta: dukkha timbul dari substansi, ketidaktahuan,  panca khandha, keinginan, kemelekatan, usaha, makanan, dan sebagainya.

§   Magandiya Sutta: kembali Sang Buddha menekankan kepada Magandiya, seorang yang yakin akan kesucian melalui filsafat, bahwa kesucian hanya dapat terjadi karena kedamaian batin.

§   Purabheda Sutta: kelakuan dan ciri-ciri seorang bijaksana sejati yaitu kebebasan dari keserakahan, kemarahan, keinginan, nafsu, dan kemelekatan dan senatiasa tenang, tenggang ras, dan bermental seimbang.

§   Culaviyuha Sutta: uraian mengenai mazhab-mazhab filsafat yang berbeda semuanya saling bertentangan tanpa menyadari bahwa kebenaran itu satu.

§   Mahaviyuha Sutta: para ahli filsafat hanya memuji diri mereka sendiri dan mengecam orang lain, tetapi seorang brahmana sejati tetap tidak tertarik kepada pencapaian intelektual yang meragukan itu dan karenanya tenang dan damai.

§   Attadanda Sutta: orang bijaksana hendaknya tulus, tidak berbohong, sederhana, bebas dari ketamakan dan fitnah, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan kemasyuran.

o    Vimanavatthu: cerita-cerita mengenai rumah di surga yang merupakan 85 syair dalam tujuh vagga mengenai pahala dan tumimbal lahir di alam-alam surga.

o    Petavatthu: terdiri atas 51 syair dalam 4 vagga mengenai tumimbal lahir sebagai setan pengembara karena perbuatan-perbuatan tercela.

o    Theragatha: syair tentang para Bhikkhu senior (thera), kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan para Thera atas pembebasan yang telah dicapai.

o    Therigatha: syair tentang para Bhikkhuni senior (theri), buku yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.

o    Jataka: cerita kelahiran merupakan kumpulan yang memuat 547 kisah yang dianggap sebagai cerita tentang kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Nidana Katha atau cerita tentang garis silsilah adalah ulasan pengantar yang menguraikan kehidupan Sang Buddha sampai pembukaan Vihãra Jetavana di Savatthi dan juga kehidupan-kehidupan lampaunya di bawah Buddha-Buddha terdahulu.

o    Niddesa: terbagi dalam Mahaniddesa, sebuah ulasan mengenai Atthakavagga dari Sutta Nipata, dan Culaniddesa, sebuah ulasan mengenai Parayanavagga dan Khaggavisana Sutta yang juga dari Sutta Nipata. Niddesa ini sendiri diulas dalam Saddhammapajjotika dari Upasena dan di situ dihubungkan dengan Sariputta.

o    Patisambhidamagga: suatu analisa Abhidhamma tentang konsep dan latihan yang sudah disebutkan dalam Vinaya Pitaka dan Digha, Samyutta dan Anguttara Nikaya. Ini dibagi dalam 3 bagian; Maha vagga, Yuganaddha-vagga dan Panna-vagga; tiap-tiap vagga memuat sepuluh topik (katha).

o    Apadana: Kisah dalam syair tentang kehidupan lampau dari 550 orang Bhikkhu dan 40 orang Bhikkhuni, yang semuanya diceritakan hidup pada masa Sang Buddha.

o    Buddhavamsa: Riwayat Para Buddha yang di dalamnya Sang Buddha menuturkan cerita tentang kebulatan hatinya untuk menjadi Buddha, dan mengungkapkan riwayat 24 Buddha yang mendahuluinya.

o    Cariyapitaka: 35 kisah dari Jataka dalam syair yang melukiskan 7 dari 10 Kesempurnaan (dasa parami) yaitu kemurahan hati, moralitas, penglepasan, kebijaksanaan, daya usaha, kesabaran, kebenaran, keteguhan hati, cinta kasih, dan keseimbangan batin.


ABHIDHAMMA PITAKA

Ketika Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika. Jadi merupakan penyajian khusus tentang Dhamma seperti yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Pada umumnya, isinya terdapat dalam sutta-sutta akan tetapi yang diuraikan dalam bagian ini adalah bentuk yang terperinci. Kitab ini terdiri atas 7 buah buku (pakara), yaitu:

1.     Dhammasangani: perincian Dhamma-Dhamma, yakni unsur-unsur atau proses-proses batin.

2.     Vibhanga: perbedaan atau penetapan. Pendalaman mengenai soal-soal dalam Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi 8 bab (vibhanga) dan masing-masing mempunyai 3 bagian.

3.     Dhatukatha: penjelasan mengenai unsur-unsur, yaitu mengenai unsur-unsur batin dan hubungannnya dengan kategori lain. Buku ini terbagi menjadi 14 bagian.

4.     Puggalapannatti: penjelasan mengenai orang-orang, terutama menurut tahap-tahap pencapaian merka sepanjang Jalan. Dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai sepuluh, seperti sistem dalam Kitab Anguttara Nikaya.

5.     Kathavatthu: pokok-pokok pembahasan, yaitu pembebasan dan bukti-bukti kekeliruan dari berbagai sekte (aliran-aliran) tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. Terdiri atas 23 bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha).

6.     Yamaka: kitab pasangan, yang oleh Geiger disebut logika terapan. Pokok masalahnya adalah psikologi dan uraiannya disusun dalam pertanyaan-pertanyaan berpasangan. Kitab ini terbagi menjadi 10 bab yang disebut Yamaka.

7.     Patthana: kitab hubungan, yaitu analisa mengenai hubungan-hubungan (sebab-sebab dan sebagainya) dari batin dan jasmani yang berkenaan dengan 24 paccaya (kelompok sebab-sebab).

Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana, dan mudah dimengerti oleh umum. Pada dewasa ini sudah banyak bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam Bahasa Indonesia misalnya Kitab Dhammapada; beberapa Sutta dari bagian Sutta Pitaka lainnya; beberapa bagian dari Vinaya Pitaka dan juga beberapa bagian (buku) dari Abhidhamma Pitaka.


oooOOooo
Bahan Acuan:
  •  Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia.
  • Iktisar Tipitaka, disusun oleh Budhiarta dan Dharma K. Widya.
  • Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Universitas Terbuka, Modul 4 - 6. 

Disusun oleh: Dhamma Study Group Bogor

Sumber: