Senin, 22 Oktober 2018

MENGENAL RASM USMANI MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA

 DITULIS OLEH ZAINAL ARIFIN MADZKUR PADA .

MENGENAL RASM USMANI MUSHAF AL-QUR’AN STANDAR INDONESIA

Pada tanggal 28 September 2018 Harian Republika cetak dan daring menulis pemberitaan hasil Mukernas Ulama Al-Qur’an yang dihelat di Bogor pada tanggal 25-27 September 2018 dengan judul, ‘Ulama Sepakati Perubahan 186 kata dalam Al-Qur’an.’ Beberapa saat setelah berita itu menyebar para pembaca berita dan netizen pun gaduh dengan judul yang dinilai provokatif.

Melihat kegaduhan di dunia maya, Harian Republika versi daring kemudian meralat judul pemberitaannya dengan menambahkan kata ‘penulisan’ sehingga berubah menjadi, ‘Ulama Sepakati Perubahan Penulisan 186 kata dalam Al-Qur’an.’ Bahkan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) pun juga mengeluarkan Siaran Pers dengan Nomor: B-1774/LPMQ.01/HM.02/10/2018 tentang Perubahan Penulisan (Rasm) 186 Kata dalam Mushaf Al-Qur’an Indonesia.

Munculnya kegaduhan tersebut hemat penulis dipicu karena dua problem sangat mendasar; minimnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dan masih terbatasnya pembahasan tentang ilmu rasm usmani di Indonesia. Untuk itu tulisan ini diharapakan dapat memberikan pengantar yang lebih objektif dalam mendudukkan Al-Qur’an sebagai mushaf dan rasm usmani yang menjadi landasan penulisannya di dunia Islam.

 

Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia adalah Mushaf Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisannya (rasm), harakat, tanda baca dan tanda wakafnya berdasarkan hasil Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an I s.d IX (1974 s.d 1983) dan dijadikan sebagai pedoman penerbitan mushaf Al-Qur’an di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, mushaf-mushaf yang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an didominasi mushaf model Bombay. Mushaf itulah yang kemudian pada Muker Ulama Al-Qur’an yang berlangsung 9 tahun banyak dijadikan pijakan untuk menyusun rumusan-rumusan cara penulisan (rasm), harakat, tanda baca dan tanda wakaf yang nantinya pada Muker ke IX/1983 ditetapkan dalam format yang baru dengan diberi nama, ‘Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia’ atau ‘Mushaf Standar Indonesia.’

Semua huruf yang dibaca ditulis lengkap dengan harakat, sebaliknya yang tidak dibaca akan dihilangkan baris harakatnya. Demikian pula tanda-tanda wakafnya, yang sebelumnya ada 12 tanda wakaf, dalam Mushaf Standar Indonesia yang disahkan oleh Menteri Agama melalui KMA No. 25/1984 disederhanakan menjadi tujuh.

Dalam sejarah perkembangan Al-Qur’an di Indonesia, kehadiran Mushaf Standar Indonesia dinilai cukup efektif dalam menyeragamkan semua cetakan dan penerbitan Al-Qur’an. Persoalan-persoalan perbedaan penulisan, harakat, tanda baca dan tanda wakaf hampir tidak lagi terulang. Bahkan LPMQ yang berdiri dari tahun 1957 pun dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam banyak hal semakin dimudahkan.

Di sisi lain, LPMQ yang tadinya merupakan tim ad hoc, sejak 2007 menjadi satuan kerja tersendiri. Upaya-upaya penelitian dan pengembangan terkait dengan isu-isu kealqur’anan juga menjadi bahan kajian khusus selain tugas dan fungsinya untuk mengeluarkan surat tanda tashih bagi setiap mushaf Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia. Belakangan muncul beberapa pertanyaan terkait dengan pilihan-pilihan cara penulisan yang dalam disiplin ilmu Al-Qur’an dikenal dengan istilah rasm.

Kenapa Mushaf Standar Indonesia ketika menuliskan kata صراط tertulis dengan alif setelah ra’, sementara Mushaf Madinah tidak dan hanya diberi tanda harakat kecil berdiri (صرط)? Pertanyaan tersebut sejatinya sudah dijawab pada abad ke-5 H/ 11 M. Pola penulisan Mushaf Standar ternyata bersesuaian dengan riwayat Abu Amr al-Dani (w. 444 H/ 1052 M), sementara Mushaf Madinah  mengacu riwayat Abu Dawud (w. 496 H/ 1102 M).

Dalam konteks konsistensi riwayat al-Dani inilah sebenarnya, Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang pada Mukernas Ulama Al-Qur’an di Bogor pada tanggal 25-27 September 2018 dengan melibatkan 110 Ulama dari dalam dan luar negeri berusaha untuk disempurnakan.

 

Apa itu Rasm Usmani?

Rasm usmani adalah cara penulisan Al-Qur’an yang dibakukan pada masa Khalifah Usman bin Affan (25 H/ 646 M). Cara ini dalam beberapa hal berbeda dengan kaidah penulisan Arab konvensional.

Tulisan Al-Qur’an sebagai disiplin ilmu berbeda dengan Al-Qur’an dalam qira’at. Oleh karena itu, riwayat penulisannya pun juga tidak tunggal. Selain dua nama al-Dani dan Abu Dawud di atas, terdapat nama-nama penting yang menjadikan ilmu ini mandiri di luar kajian umum ulum Al-Qur’an.

Karya-karya yang masih bisa dilihat sampai sekarang, antara lain Ibn Abu Dawud (w. 316 H/ 928 M) menulis al-Mashahif, al-Mahdawi (w. 430 H/ 1036 M) menulis Hija’ al-Mashahif al-Amshar, al-Balansi (w. 563 H/ 1167 M) menulis al-Munsif, al-Syatibi (w. 590 H/ 1194 M) menulis ‘Aqilat al-Atrab, al-Sakhawi (w. 643 H/ 1245 M) menulis al-Wasilah, dan lain-lain. 

Menurut Qadduri, disiplin rasm usmani berbeda dengan ilmu kaligrafi. Kajian rasm usmani sangat terkait dengan aspek bahasa (lughah), maka sebagaimana dikemukakan oleh al-Suyuthi (w. 911 H/ 1505 M), semua penulisannya pun juga terkait kaidah-kaidah kebahasaan.

Rumusan kaidah ilmu rasm usmani yang masyhur, yaitu:

[1] membuang huruf (hadhf),

[2] menambahkan uruf (al-ziyadah),

[3] penulisan hamzah,

[4] pergantian huruf (al-badal),

[5] kata yang disambung dan diputus penulisannya (al-fasl wa al-wasl), dan

[6] penulisan salah satu dari dua qira’at yang tidak bisa disatukan tulisannya (ma fihi qira’atani wa kutiba ‘ala ihdahuma).

Contoh-contoh sederhana dalam enam kaidah di atas, antara lain;

[1] membuang huruf, misalnya; penulisan kata العالمين dalam rasm ditulis dengan tanpa alif setelah huruf ‘ain ( العلمين);

 [2] menambahkan huruf, misalnya; penulisan kata ملاقو ربهم dalam rasm ditambahkan alif setelah waw menjadi ملاقوا ربهم;

3] penulisan hamzah, misalnya penulisan kata شطاه dalam rasm menjadi  شطئه;

4] pergantian huruf, misalnya penulisan kata الحياة dalam rasm ditulis dengan pergantian alif dengan waw menjadi الحيوة;

5] kata yang disambung dan diputus penulisannya, seperti pada kata ان لا dalam rasm terkadang ditulis disambung menjadi الا; dan

[6] penulisan salah satu dari dua qira’at yang tidak bisa disatukan tulisannya, misalnya bacaan Hafs pada QS al-Baqarah/2:132 yang dibaca ووصي karena mengikuti riwayat Qalun maka ditulis menjadi واوصي. Dari semua contoh tersebut bacaannya sama, hanya cara penulisan rasm-nya yang berbeda.

Rasm usmani Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, setelah ditelaah ulang dan dikaji oleh tim internal LPMQ dengan melibatkan ulama Al-Qur’an dari dalam dan luar negeri, muncul kesepakatan untuk menyempurnakan penulisan 186 kata. Dalam beberapa tempat lainnya sudah sesuai dengan riwayat al-Dani.

Tokoh-tokoh luar negeri yang diundang kompeten di bidangnya, yaitu Prof. Dr. Abdul Karim (Mesir), Prof. Dr. Samih Athaminah (Yordania), Prof. Dr. Miyan Tahanawi (Pakistan), dan Dr. Zain el-Abidin (Mujamma’ Malik Fahd Madinah).

[Dr. Zainal Arifin Madzkur, MA, Peneliti dan Pentashih di LPMQ Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI]


Sumber:

https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/327

Rabu, 10 Januari 2018

Tangan Pengubah Shabbat

Di dalam ketidakmengertiannya, Gereja menuduh Paulus mengubah Shabbat dari Sabtu menjadi Minggu. Sesungguhnya, yang membatalkan Shabbat adalah Gereja itu sendiri. Maling teriak maling... Hal ini diakui sendiri dengan bangga oleh Gereja melalui terbitan-terbitannya. Mereka melakukannya pada abad ke-4 (tahun 300-an) atau tepatnya tahun 364M di dalam Konsili Laodikia. Ketika itu Gereja yang ada barulah Gereja Katolik. Belum ada Protestan atau Kharismatik dll.

Catholic Press Newspaper di Sydney, Australia menulis:

"Minggu adalah institusi Katolik dan ketaatan terhadap hal ini hanya dapat dipertahankan dengan prinsip-prinsip Katolik. Dari awal sampai akhir Alkitab tidak ada satu pun bagian yang membenarkan perubahan hari untuk ibadah umum dari hari terakhir menjadi hari pertama tiap minggu."

Majalah Catholic Mirror edisi 23 Sep 1894 menulis,

"Gereja Katolik selama lebih dari seribu tahun sebelum adanya gereja protestan, karena misi ilahinya, telah mengubah [Shabbat] dari Sabtu menjadi Minggu."

Buku katekisasi katolik berjudul Convert's Catechism of Catholic Doctrine yang ditulis oleh Peter Giermann, mencatat Tanya-Jawab berikut ini,

"Tanya: Shabbat itu hari apa?
Jawab: Shabbat itu adalah hari Sabtu.
Tanya: Mengapa kita menguduskan hari Minggu dan bukan Sabtu?
Jawab: Kita menguduskan hari Minggu dan bukan Sabtu karena Gereja Katolik di dalam Konsili Laodikia
telah mengubah ritual itu dari Sabtu menjadi Minggu."

Dari dalam buku Doctrinal Catechism yang ditulis oleh Steven Keenan, kita dapat membaca:

"Tanya: Apakah Anda punya cara lain untuk membuktikan bahwa Gereja memiliki kuasa untuk menetapkan hari-hari kudus?
Jawab: Seandainya Gereja tidak memiliki kuasa itu, dia tidak mungkin dapat melakukan apa yang disetujui oleh semua agama modern sekarang; dia tidak mungkin dapat mengubah ketaatan untuk menguduskan hari Sabtu (hari ketujuh) menjadi perintah menguduskan hari Minggu (hari pertama); padahal perubahan ini tidak ada otoritasnya di dalam Alkitab."

Our Sunday Visitor, sebuah koran nasional Katolik yang terbit mingguan di Amerika, menulis di edisi tanggal 5 Feb 1950:

"Hampir semua yang dianggap penting oleh kaum Protestan, mereka terima dari Gereja Katolik... Pemikiran kaum Protestant sepertinya tidak menyadari bahwa dengan menerima Alkitab dan menguduskan hari Minggu, dengan menjalankan Natal dan Easter, mereka sebenarnya menerima otoritas juru bicara Gereja Katolik, yaitu Paus."

Pastor Katholik bernama T. Enright, CSSR, di Kansas City, Amerika pernah mengatakan:

"Gereja Katolik-lah yang mengubah hari istirahat dari Sabtu menjadi Minggu, hari pertama tiap minggu. Dan dia bukan hanya memaksa semua orang untuk menguduskan hari Minggu, tetapi melalui Konsili Laodikia, tahun 364M, mengutuk mereka yang menjalankan hukum Shabbat dan mendesak semua orang untuk bekerja pada hari ke-7 dengan ancaman hukuman laknat."

Pastor Katolik T. Enright, CSSR, di dalam kuliahnya di Hartford pada tanggal 18 Feb 1884 mengatakan:

"Saya telah berulang kali menawarkan $1000 untuk siapa pun yang dapat memberikan bukti dari Alkitab bahwa Minggu adalah hari yang harus kita kuduskan... Alkitab mengatakan, "Ingatlah dan kuduskanlah hari Shabbat," tetapi Gereja Katolik mengatakan, "Tidak, kuduskan hari pertama tiap minggu," dan seluruh dunia tunduk di dalam ketaatan."

Kanselir Albert Smith untuk Kardinal Keuskupan Agung Baltimore menulis di dalam suratnya tertanggal 10 February 1920:

Seandainya kaum Protestan hendak mengikuti Alkitab, seharusnya mereka menyembah TUHAN pada hari Shabbat TUHAN yaitu Sabtu. Dengan menguduskan hari Minggu, mereka mengikuti hukum Gereja Katolik.

Mengapa dengan bangga hal ini begitu dipublikasikan di mana-mana? Mengapa tidak dirahasiakan saja supaya tidak ada yang tahu? Karena dengan mengubah Shabbat dari Sabtu dan Minggu, dengan membuat seluruh dunia tunduk kepadanya dan bukan kepada TUHAN, hal itu hanya membuktikan bahwa otoritas mereka sungguh-sungguh berada di atas level Alkitab, di atas otoritas TUHAN.

Catholic Record edisi tanggal 1 September 1923 menulis:

Minggu adalah tanda otoritas kita... Gereja berada di atas Alkitab, dan perubahan ketaatan untuk menguduskan Shabbat adalah bukti dari kenyataan itu.

Surat Paus Leo XIII mengenai Praeclara Gratulationis Publicae tanggal 20 Juni 1894 menyatakan kalimat berikut ini:

We hold upon this earth the place of God Almighty.
[Kami memegang atas bumi ini posisi TUHAN yang Maha Kuasa.]

Sekarang sudah jelas bahwa yang membatalkan Shabbat dan menggantinya dengan Minggu adalah Gereja sendiri. Bukan Paulus. Apalagi TUHAN. Selama ribuan tahun sejak Konsili Laodikia tahun 364M, kekristenan beroperasi di atas kebohongan dan DISTORSI WAKTU dan HUKUM yang dilakukan oleh manusia. Selama lebih dari 1700 tahun, mereka tidak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh TUHAN, tetapi apa yang diperintahkan oleh manusia.

Kata-kata Yesus yang mengutip dari Kitab Yesaya berikut ini mungkin ditujukan bagi orang-orang Yahudi yang dianggap munafik di zaman itu. Tetapi di zaman sekarang ini, kata-kata ini seharusnya menjadi teguran keras bagi kekristenan juga:

Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. (Mar 7:6-7)

Elisheva Wiriaatmadja
Eits Chaim