Jika seseorang mau melihat dengan hati yang jernih, ia akan menemukan bahwa banyak sekali doktrin dan ajaran Gereja dibangun atas dasar surat-surat Paulus. Kekristenan modern cenderung kurang memberikan perhatian kepada Tanakh (kitab Taurat dan para nabi) dan menaruh perhatian berlebihan kepada surat-surat Paulus. Pada masa kini kita bisa menyaksikan bahwa tidak ada satu pun orang Kristen yang mempelajari Taurat di kebaktian hari Minggu tetapi banyak sekali di antara mereka yang mempelajari surat-surat Paulus. Hal ini cukup memprihatinkan. Jika kita lebih banyak memberikan penekanan kepada bagian tertentu dan menghiraukan bagian lainnya dari Alkitab, kita amat mungkin akan menghasilkan sebuah pandangan yang tidak seimbang.
Melihat jumlahnya, surat-surat Paulus mengisi separuh dari seluruh jumlah kitab di dalam Perjanjian Baru. Surat-surat Paulus tidak diragukan lagi adalah salah satu Injil yang tertua di dunia, yang ditulis antara tahun 50-64. Injilnya merupakan ilham Roh Kudus, tetapi Paulus atau pun Roh Kudus tidak menghendaki agar kita lebih memberikan penekanan terhadap suratsuratnya ketimbang kitab-kitab lainnya. Dengan melakukan hal tersebut, kita telah gagal mengikuti contoh yang diberikan oleh Paulus sendiri, yang berkata “Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Elohim kepadamu.”(Kis 20:27). Dengan menghiraukan bagian lain dari Alkitab, kita telah melupakan pesan Paulus,“Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Elohim memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Tim 3:16).
Ketika Paulus berbicara tentang Kitab Suci, yang ia maksud tentunya adalah kitab-kitab Tanakh, sebab Perjanjian Baru belum ditulis pada waktu itu. Kitab Suci inilah yang dikatakannya kepada Timotius, “memberi hikmat dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” Jika sekarang kita menjumpai bahwa Tanakh hampir tidak pernah lagi digunakan untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, maka hal ini patut menjadi bahan pertanyaan.
Rasul Petrus menulis dalam suratnya, “Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.” (II Pet 3:15-18). Jika orang sekelas Petrus saja merasakan bahwa ada hal-hal yang sukar dipahami dalam surat-surat Paulus, maka apalagi bagi kita yang mempunyai keterbatasan pengetahuan akan situasi dan masalah apa yang sedang dibahas oleh Paulus ketika ia menulis surat-suratnya. Sekarang, apa yang membuat kita merasa lebih hebat dari Petrus dalam memahami surat-surat Paulus ?
Lalu apakah yang membuat kekristenan mulai menaruh perhatian yang berlebihan terhadap surat-surat Paulus dan mengesampingkan kitab-kitab Taurat dan para nabi, Kitab Suci yang digunakan pula oleh Yesus pada masa hidup-Nya ? Untuk menjawab hal ini kita perlu pergi kembali ke abad kedua. Setelah masa para rasul berlalu, beberapa orang tampil dan menerima otoritas untuk meneruskan pekerjaan mereka. Mereka ini berbeda latarbelakangnya dengan para rasul. Seluruh rasul Kristus terlahir sebagai orang Yahudi. Seperti anak-anak Yahudi lainnya, mereka telah mempelajari kitab Taurat dan para nabi semenjak kecil. Bahkan Paulus pada awalnya adalah salah seorang murid sekolah agama yang dididik langsung oleh Rabbi Gamaliel. Mereka berpikir dan mengajar dalam konteks-pandang dan budaya Yahudi dimana mereka hidup di dalamnya.Tetapi orang-orang yang menjadi pemimpin menggantikan mereka adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang penyembah berhala, yang sama sekali tidak memahami keyahudian sistem kepercayaan mereka. Mereka inilah yang telah menyimpangkan pesan Injil yang disampaikan oleh para rasul.
Jauh-jauh hari, Petrus telah mengingatkan kita terhadap bahaya laten orang-orang ini, masih kelanjutan dari perkataannya di atas, “Tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena itu waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh.” (II Pet 3:17)
Hukum yang dimaksud oleh Petrus adalah hukum Taurat, sebagaimana orang Yahudi dan pembaca di abad pertama memandangnya. Jadi orang-orang yang tidak mengenal hukum adalah istilah yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak pernah belajar, memahami dan mempraktekkan Taurat dalam hidup mereka.
Selain mengawatirkan surat-surat Paulus, Petrus juga mengawatirkan tulisannya sendiri. Epistle of Peter to James adalah sebuah surat yang ditulis oleh Petrus kepada Yakobus ketika ia berada di Roma (c.60-64). Dalam suratnya itu, Petrus menulis, “Saudaraku, mengetahui betapa besar hasratmu (untuk memberitakan Injil) yang mana demi kebaikan kita semua, aku meminta dan memohon kepadamu untuk tidak membicarakan dengan orang-orang bukan Yahudi buku-buku pengajaranku yang aku kirimkan kepadamu, juga tidak kepada orang-orang sebangsa dengan kita sebelum mereka itu diuji. Tetapi jika ia terbukti dan ditemukan layak untuk itu, maka ajarlah dia, dengan cara yang sama ketika dahulu Musa menurunkan kitab-kitabnya kepada tujuh puluh orang tua-tua yang meneruskan kursinya…mereka tidak meminta seorang pun untuk mengajar, kecuali ia telah belajar terlebih dahulu bagaimana Kitab Suci harus digunakan. Dan dengan demikian di antara mereka hanya terdapat satu Tuhan, satu hukum dan satu harapan…Dan hal ini aku ketahui, bukan karena aku seorang nabi, tetapi karena aku telah melihat sendiri kejahatan ini telah dimulai. Sebab beberapa orang di antara orang-orang bukan Yahudi itu telah menolak pengajaranku, mengikatkan diri mereka kepada ajaran sia-sia melawan hukum (Taurat) dari seorang yang menjadi musuhku. Dan hal ini telah terjadi semasa aku masih hidup, memutar-balikkan perkataanku dengan penafsiran yang beraneka-ragam, supaya hukum (Taurat) ditiadakan, seolah-olah aku sendiri mengajarkan demikian, tetapi dengan samar-samar, yang mana Tuhan melarangnya! Karena hal demikian merupakan tindakan melawan hukum Elohim yang diajarkan kepada Musa, yang mana kesaksian tentang kekekalan Taurat telah diberikan oleh Tuhan kita (Yesus Kristus), dimana Ia berkata: “Langit dan bumi boleh berlalu tetapi satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat.” Dan ini dikatakan-Nya sebab hal (penyelewengan) ini akan terjadi. Tetapi orang-orang ini, aku tidak tahu bagaimana caranya, mengaku mengetahui pikiranku, berusaha untuk menjelaskan perkataan-perkataanku, yang mereka dengar dariku, dengan cara yang lebih pandai dari caraku berbicara kepada mereka, memberitakan kepada katekumen mereka bahwa inilah maksud perkataanku, yang sebenarnya tidak pernah aku ajarkan. Jika selama aku masih hidup saja mereka sudah berani berlaku seolah-olah mewakiliku apalagi kelak orang-orang yang akan datang setelahku akan jauh bertambah berani! (Epistle of Peter to James 1:1-2:3) Kekhawatiran Petrus dalam suratnya itu menjadi kenyataan. Ada seorang tokoh yang hidup kirakira antara tahun 84-160, yang tidak diragukan lagi adalah seorang kaki tangan Iblis. Namanya Marcion, yang menjabat sebagai uskup di Sinope. Marcion mengajarkan bahwa seluruh kitab Perjanjian Lama harus dibuang karena berasal dari kuasa jahat, yakni tuhannya orang Yahudi, tuhan yang lebih rendah, bukan Tuhan yang dinyatakan oleh Yesus Kristus. Jadi keduanya adalah tuhan yang berbeda. Yang satu jahat dan yang satu baik.
Marcion jelas adalah seorang anti Yahudi. Ia tidak segan-segan membuang semua tulisan dalam Perjanjian Baru yang menurutnya menganjurkan “peribadatan Yahudi” (i.e memelihara hukum Taurat seperti yang tercantum dalam Perjanjian Lama). Marcion-lah orang yang pertama kali menetapkan kanonisasi Perjanjian Baru (140). Setelah ia selesai melakukan editing terhadap isi Perjanjian Baru, “kitab suci”-nya hanya terdiri atas Injil Lukas (yang telah disensor dari unsur-unsur Yahudi) dan sepuluh buah surat Paulus. Ia menolak semua rasul yang lain, kecuali Paulus, sebab menurutnya hanya Paulus yang bisa dipercaya. Gereja Marcion yang anti Yahudi dan pro-Paulus ini kemudian berkembang pesat menyebar ke seluruh kerajaan Romawi dan selama berabad-abad mempunyai pengikut tersendiri. Baru pada abad kelima pengikut Marcion pelan-pelan menghilang, lenyap berbaur dengan lautan kekristenan.
Sekarang kita yang mengaku beriman kepada Kristus harus bertanya kepada diri kita sebuah pertanyaan penting: Apakah penyesatan Marcion yang anti Yahudi dan pro-Paulus benar-benar telah menghilang ? Tidakkah kita melihat bahwa ada elemen-elemen di dalam Marcionisme telah terserap sedemikian rupa dalam kekristenan tanpa disadari ?
Tentu saja Alkitab yang kita miliki, tidak seperti kepunyaan Marcion, mengandung kitab Taurat dan para nabi, namun seberapa besar kita menaruh perhatian terhadap perintah-perintah di dalamnya ?Jika kita mengamati rata-rata perilaku orang Kristen seperti yang disebutkan di awal tulisan, teramat jelas bahwa Gereja masa kini masih menganut Marcionisme dalam prakteknya.
Umat Kristen dewasa ini tentu tidak ada lagi yang mempercayai dua Tuhan seperti yang diajarkan oleh Marcion. Namun demikian banyak orang Kristen yang mengadakan perbedaan antara sifat hukum dalam Perjanjian Lama dengan kasih karunia dalam Perjanjian Baru, sebab mereka memandang hukum Taurat sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kasih karunia. Hukum Taurat dipandang sebagai sesuatu yang usang dan sedikit manfaatnya bagi seorang Kristen. Jika Tuhan Perjanjian Lama dikesankan sebagai Tuhan yang gemar mengadili, menghukum dan pemarah sementara itu Tuhan Perjanjian Baru dikesankan sebagai Tuhan yang lemah lembut, cinta kasih dan damai, sehingga keduanya nampak seperti dua Tuhan yang berlawanan. Dengan demikian kita akan mendapati Tuhan yang mengidap schizophrenic atau jatuh ke dalam paham dua Tuhan-nya Marcion.
Dalam bukunya Adversus Marcionem (207), Tertullianus mengecam Marcion dan para pengikutnya karena telah “melarang apa yang Tuhan perintahkan dan memerintahkan apa yang Tuhan larang.”(IV,1). Hantu ajaran Marcion ini terus berlanjut sampai sekarang di dalam Gereja. Tidak ada satu pun orang Kristen saat ini yang mengikuti perintah-perintah di dalam Perjanjian Lama seperti memelihara hari Sabat, merayakan hari-hari raya Kitab Suci, menjauhkan diri dari makanan haram, hal-hal yang diperintahkan oleh Tuhan. Tetapi mengikuti teladan Marcion, Gereja mengajarkan untuk tidak memelihara hari Sabat, tidak merayakan hari-hari raya Kitab Suci, tidak perlu menjauhkan diri dari makanan haram, hal-hal yang berlawanan dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Marcion, seperti kebanyakan pemimpin gereja masa kini, menyalah-gunakan perkataan Yesus dan Paulus untuk mendukung injil yang nomophobia, anti Yahudi dan pro-Paulus. Tertullianus memperlihatkan bahwa serangan kata Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang Farisi bukan ditujukan kepada hukum Taurat itu sendiri, tetapi kepada pemutar-balikkan dan penyalah-gunaan hukum Elohim. “Ia tidak mengritik beban hukum Taurat,” Tertullianus menulis. Beban yang dikritik oleh Yesus menurut Tertullianus adalah “beban yang ditambahkan oleh mereka sendiri, sebuah ajaran yang didasarkan atas ajaran manusia.” (IV, 27). Tertullianus menunjukkan betapa Yesus memandang penting memelihara perintah-perintah Taurat dengan menulis tentang orang muda kaya yang bertanya kepada Yesus: “Jadi ketika Ia ditanya oleh orang tersebut, Guru yang baik, apakah yang harus aku lakukan supaya memperoleh hidup kekal ?, Ia menjawab engkau telah mengetahuinya – yang artinya ialah memelihara perintah-perintah Sang Pencipta…Ayolah Marcion dan kalian para pengikut dalam kesesatan ini, apa yang akan kamu katakan ? Apakah Kristus disini meniadakan perintahperintah sebelumnya…?” (IV, 36)
Tertullianus menentang pemutar-balikan surat-surat Paulus yang dilakukan oleh Marcion dengan memperlihatkan “keyahudian” iman Paulus, dan mempertanyakan, “Mengapa Paulus tetap memelihara hukum Yahudi, jika ia adalah pemusnah agama Yahudi ?” (V,5). Tertullianus juga menunjuk kepada Roma 7:7, untuk melawan kebencian Marcion terhadap hukum Taurat, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa? Engkau memalukan, Marcion. Tuhan melarang rasul Paulus menyatakan kebencian terhadap hukum Taurat…Bahkan ia menambahkannya lebih jauh, jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik.” (V,14). Kemudian Tertullianus menulis, “Engkau tidak dapat membuat seorang penganjur hukum Taurat menjadi seorang penentang hukum Taurat.” (V,17).
Kalimat Tertullianus yang terakhir masih terasa relevan hingga hari ini. Apakah anda bisa menebak bagaimana reaksi orang Kristen masa kini terhadap kalimat-kalimat Paulus seperti berikut:
“Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” (Gal 5:2)
“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.” (Kol 2:16-17)
Mudah ditebak. Mereka akan berpikir Paulus mengajarkan bahwa hukum Taurat telah digantikan dengan iman kepada Yesus Kristus. Benarkah demikian ? Ini bukanlah apa yang sedang dibicarakan oleh Paulus! Anda tidak dapat membuat seorang penganjur hukum Taurat menjadi seorang penentang hukum Taurat. Duapuluh tahun menjadi rasul Kristus tidak membuat Paulus berubah. Ia tetap seorang Yahudi yang taat. Paulus menyunat Timotius (Kis 16:1-3), bernazar dan mentahirkan diri (Kis 18:18,21:26), merayakan hari raya Roti Tidak Beragi (Kis 20:6), merayakan hari raya Shavuot (Kis 20:16), berpuasa pada hari raya Yom Kippur (Kis 27:9), dan memberikan persembahan di Bait Elohim (Kis 21:26, 24:17). Tetapi ajarannya sering kali disalah-pahami orang sebagai ajaran untuk membatalkan hukum Taurat. Dalam Kisah Para Rasul 21:18-26 diceritakan bagaimana Paulus membuktikan ketidakbenaran itu di hadapan Yakobus dan para penatua di Yerusalem.
“Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita. Jadi bagaimana sekarang? Tentu mereka akan mendengar, bahwa engkau telah datang ke mari. Sebab itu, lakukanlah apa yang kami katakan ini: Di antara kami ada empat orang yang bernazar. Bawalah mereka bersama-sama dengan engkau, lakukanlah pentahiran dirimu bersama-sama dengan mereka dan tanggunglah biaya mereka, sehingga mereka dapat mencukurkan rambutnya; maka semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara hukum Taurat.” Pada hari berikutnya Paulus membawa orang-orang itu serta dengan dia, dan ia mentahirkan diri bersama-sama dengan mereka. (Kis 21:21-24,26)
Paulus yang sama juga menegaskan “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman (kepada Yesus) ? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.” (Rom 3:31).
Sayangnya, orang Kristen justru mengabaikan pernyataan-pernyataan Paulus yang positif terhadap hukum Taurat. Sangat jelas bahwa Paulus terus memelihara hukum Taurat setelah ia beriman kepada Kristus. Satu hal yang berubah dalam diri Paulus ialah alasan dia untuk memelihara hukum Taurat. Dahulu ia menaati setiap perintah secara teliti supaya ia memperoleh pahala dan keselamatan. Setelah bertemu Kristus, ia menemukan bahwa dirinya diselamatkan oleh karena iman. Sekarang keinginannya untuk menaati hukum Elohim disebabkan oleh dorongan hati dari hidupnya yang telah diperbaharui di dalam Kristus (Gal 2:20) sehingga ia bebas menaati hukum Elohim menurut roh, bukan lagi menurut cara lama yang hurufiah (Roma 7:6).
Dengan memelihara hukum Elohim menurut roh dan berdasarkan alasan yang benar, Paulus memberikan contoh kepada seluruh pendengarnya, baik itu Yahudi maupun bukan Yahudi, supaya mereka mengikuti apa yang sudah dicontohkan olehnya. Katanya, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” (I Kor 11:1). Kata yang digunakan dalam teks Yunani pada ayat tersebut adalah mimetes yang berarti imitator, orang yang menirukan. Jika kita mau bersungguh-sungguh mengikuti contoh yang telah diberikan oleh Paulus, sebagaimana ia telah mengikuti contoh Kristus, maka kita akan kembali memelihara hukum-hukum Elohim di dalam Perjanjian Lama, sesuatu yang telah diabaikan di dalam Gereja selama berabad-abad. Jika kita mau mengundang Roh Kudus dalam hati kita, maka cahaya terang Elohim akan menyingkirkan kita dari cahaya kegelapan Marcion. Kita akan mendapati diri kita diperbaharui dan kita akan melihat hukum Elohim yang sesungguhnya: sebagai sesuatu yang kudus, baik dan benar, jika “digunakan dengan tepat” (I Tim 1:8).
Marilah kita, setiap orang yang beriman dengan hati penuh kepada Kristus untuk mulai belajar hukum Elohim, mengerjakannya, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, karena Yesus berkata:
לכן כל־המפיר אחת ממצות קטנות אלה והורה כזאת לאנשים נקלה יקרא במלכות השמים והעשה אתן ומלמד לעשותן נכבד יקרא במלכות השמים׃
(הבשורה הקדושה על־פי מתי פרק ה:יט)
“Siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”
(Matius 5:19).
Sekali kita melenyapkan cahaya kegelapan Marcion dan “semangat anti-Taurat” dari teologi kita, kita akan menyaksikan bahwa hukum Elohim sama sekali bukanlah sebagai beban melainkan suatu panduan moral supaya kita hidup dengan suka cita menyenangkan hati Bapa di surga. Dengan begitu kita akan menyanyikan pujian seperti Daud bermazmur bagi TUHAN: Terpujilah Engkau, ya TUHAN;ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku. Aku telah memilih jalan kebenaran, telah menempatkan hukum-hukum-Mu di hadapan- ku.Aku hendak berpegang pada Taurat-Mu senantiasa, untuk seterusnya dan selamanya.Besarlah ketenteraman pada orangorang yang mencintai Taurat-Mu, tidak ada batu sandungan bagi mereka. Aku sesat seperti domba yang hilang, carilah hamba-Mu ini, sebab perintah-perintah-Mu tidak kulupakan.(Maz 119:12,30,44,165,176)