KONSEKWENSI LOGIS PEMAHAMAN BAHWA YESHUA SANG MESIAS ADALAH ISH YEHUDI
Pertama, Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] tidak melibatkan diri dalam kebencian terhadap berbagai hal yang berbau Yahudi atau Anti Semitisme. Anti Semitisme didefinisikan sbb: “Antisemitism (alternatively spelled anti-semitism or anti-Semitism) is discrimination, hostility or prejudice directed at Jews. While the term's etymology may imply that antisemitism is directed against all Semitic peoples, it is in practice used exclusively to refer to hostility towards Jews as a religious, racial, or ethnic group” [f5]. Artinya, Anti Semitisme {alternatif pengucapan, anti-semitism atau anti-Semitism} merupakan pendiskriminasian, permusuhan atau prasangka yang diarahkan pada orang-orang Yahudi. Meskipun akar istilah ini berdampak bahwa antisemitisme diarahkan pada semua masyarakat Semitik, namun secara praktis digunakan secara ekslusif untuk menunjukkan suatu kebencian terhadap orang-orang Yahudi sebagai sebuah agama, ras atau kelompok etnik.
Ada dua bentuk Anti Semitisme, yaitu Anti Semitisme Keagamaan dan Anti Semitisme Ras[f6]. Berbicara mengenai Anti Semitisme Keagamaan, Kekristenan maupun Islam – sekalipun agama yang berakar Semit – menunjukkan sikap-sikap Anti Semit. Bentuk Anti Semitisme dalam “Kekristenan”, telah berakar sejak tahun 313 Ms ketika Pengikut Mesias non Yahudi yang disebut “Christianoi” semakin memiliki pengaruh di luar Yerusalem [kelompok Pengikut Mesias di Yerusalem disebut “Netsarim” atau “Nazarene”]. Status mereka yang semula dijuluki “Religio Illicita” [agama yang tidak sah] menjadi “Religio Licitta” [agama sah], setelah Kontantin menjadi kaisar. Dan pada tahun 313 Kaisar Konstantin menetapkan “Kekristenan” menjadi agama negara Romawi. Dan semenjak itulah hal-hal yang berkaitan dengan Keyahudian berusaha dipangkas al., Shabat, Sunat, Sheva Moedim, Torah, dll. Sejarawan David Rausch menjelaskan: “The Gentile Church claimed to be the true Israel and tried to disassociate itself from the Jewish people early in its history” [f7] [Gereja non Yahudi mengklaim menjadi Israel yang benar dan mencoba untuk memutus dirinya dari masyarakat Yahudi dalam sejarahnya] Sikap-sikap Anti Semitisme oleh “Kekristenan” dan “Gereja”, masih terus terbawa hingga kini. Siap-sikap tersebut terpantul dari pemahaman terhadap Torah yang dimaknai sebagai “Hukum” yang bersifat legalistik. DR. David Stern, seorang Mesianik Yahudi yang telah menaruh kepercayaan pada Yahshua sebagai Mesias, mengakui kesenjangan pemahaman antara Kekristenan dan Yudaisme, ketika membicarakan mengenai Torah. Menurut beliau, jika memperbandingkan buku-buku teologia baik Kristen maupun Yudaisme, akan diperoleh fakta bahwa kedua belah akan bersebrangan pemahaman mengenai topik Torah. Dalam penelusuran berbagai buku teologi Kristen mengenai Torah, al., Augustus Strong’s Systematic Theology, hanya membahas mengenai topik Torah, sebanyak 28 halaman dari 1056 halaman [kurang dari 3%]. Sementara L. Berkhof dalam bukunya Systematic Theology, hanya mengulas sebanyak 3 halaman dari 745 halaman [kurang dari1/2%]. Berbeda dengan buku-buku teologi dikalangan Yudaisme,al., Isidor Epstein’s yaitu the Faith of Judaism,mengulas mengenao Torah sebanyak 57 halaman dari 386 halaman [15%] dan Solomon Schetcher dalam Aspects of Rabbinic Theology mengulas sebanyak 69 halaman dari 343 halaman [20%]. Stern berkesimpulan, ”In short, Torah is the great unexplored territory, the terra incognita of Christian Theology” [f8] [singkatnya, Torah merupakan wilayah yang belum sama sekali digali, suatu wilayah tidak dikenal dalam Teologi Kristen].
Pemahaman yang keliru terhadap Torah masih mengakar dalam bentuk Teologi Dispensasional dan Teologi Covenant. Dispensasionalisme merupakan pokok Teologi yang mendasarkan pada sejumlah penafsiran teks Kitab Perjanjian Baru dengan pemahaman bahwa Yahweh memili 2 program yaang berbeda, yaitu untuk Israel dan untuk Gereja. Apa yang menjadi janji milik Israel, tidak dapat dilakukan oleh Gereja. Jika Israel memelihara Sabat [Kel 20:8-11], maka Gereja memelihara Hari Tuhan [1 Kor 16:2]. Jika Israel adalah istri dari Yahweh [Hos 3:1] maka Gereja adalah Tubuh Mesias [Kol 1:27] [f9]. Covenant merupakan pokok Teologia yang berkeyakinan bahwa Yahweh membuat 2 perjanjian, yaitu Perjanjian Perbuatan yang dibangun sejak Adam sampai zaman Israel. Perjanjian ini gagal dilakukan oleh Adam. Lalu Yahweh memberikan Perjanjian kedua yaitu Perjanjian Anugrah, melalui Yahshua, yang dengan sempurna melaksanakan perjanjian tersebut.
Membenci berbagai hal yang berbau Yahudi, berarti membenci Mesias, karena Mesias kita adalah orang Yahudi. Hans Ucko menggambarkan sikap-sikap Kekristenan terhadap kenyataan bahwa Mesias adalah Yahudi sbb: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit [bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu” [f10]. Memutuskan hubungan sejarah bahwa Yeshua adalah Bangsa Yahudi, bahwasnya “Kekristenan” berakar dari Yudaisme, menimbulkan konsekwensi teologis yang mendalam, berupa kehilangan orientasi dan kesatuan iman dan tata ibadat. Nelly Van Doorn-Harder, MA., menjelaskan kenyataan di atas sbb: “…proses melupakan warisan keyahudian ini berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen diluar tanah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani…Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil dari Renaisance. Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa berdialog secara konstan dengan [Elohim] yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari kehidupan liturgi Protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan yakni doktrin…anti Yahudi telah memberi andil terhadap paham [ide] bahwa Kekristenan adalah sebuah agama yang betul-betul asli dan tidak menggunakan unsur Yudaisme apapun. Melupakan akar-akar keyahudian, memberikan konsekwensi-konsekwensi serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja” [f11]. Mengenai Anti Semitisme dikalangan Islam, dapat terlihat dengan beredarnya berbagai buku al., “Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan” [f12], “Menyingkap Tabir Orientalisme” [f13], “Kenapa Kita Tidak Berdamai Saja Dengan Yahudi” [f14], “Sejarah Islam Dicemari Zionis Dan Orientalis” [f15], “Yahudi Menggenggam Dunia” [f16], “Rahasia Gerakan Freemasonry Dan Rotary Club” [f17]. Berbagai buku di atas mengekspresikan suatu kebencian terhadap Yahudi yang dipicu oleh berbagai ketegangan di wilayah Palestina sejak tahun 1948. Para penulis tersebut tidak hanya merujuk pada tahun 1948 sebagai pemicu kebencian terhadap Yahudi, namun menarik lebih awal sampai pada tahun awal perkembangan Islam, di mana komunitas Yahudi selalu membuat pengkhianatan terhadap Islam. Inti buku-buku tersebut menegaskan bahwa Yahudi bertanggung jawab terhadap berbagai kebijakan politik dan ekonomi serta kebudayaan yang merusak dan menyengsarakan dunia ketiga khususnya dunia Islam. Berbagai kebijakkan tersebut menyelusup masuk secara rahasia dan konspiratif dengan berbagai organisasi-organisasi rahasiannya seperti Freemasonry dan Iluminasi dll.
Namun semangat berbagai tulisan di atas, tidak diamini oleh semua golongan Islam. Di antaranya Amin Rais menyatakan: “Kita tidak pernah tahu kebenaran teori konspirasi itu. Bukti-bukti ke arah sana tidak pernah ada yang meyakinkan, kecuali hanya dugaan-dugaan, perasaa-perasaan. Pertanyaannya, sampai kapan kita tersandera dalam dugaan-dugaan seperti itu? Bukankah hidup ini harus berjalan dan tidak perlu seluruh waktu kita dihabiskan untuk menjawab sesuatu yang tidak jelas?” [f18] Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] tidak perlu melibatkan diri dalam sikap penuh prasangka dan kebencian terhadap Yahudi. Akar-akar kebencian tersebut telah terlacak dalam sejarah dan dimulai oleh prasangka-prasangka teologis yang tidak berdasar sama sekali.
Meskipun kita tidak melibatkan dalam sikap-sikap yang penuh kebencian terhadap Yahudi, namun bukan berarti kita menyetujui berbagai aktifitas atau tindakan Yahudi sebagai negara yang dapat saja terjatuh dalam berbagai kebijakkan yang keliru dalam panggung politik dunia, khususnya dalam hal menangani konflik dengan Palestina. Hans Ucko mengingatkan sbb: “Disaat tentara Israel membom rumah-rumah orang Palestina dan menutup kegiatan di sekolah-sekolah anak Palestina itu, ada saja orang Kristen [yang terlibat dalam dialog Yahudi-Kristen] mengatakan tanpa pertimbangan apapun bahwa negara Israel adalah tanda kemurahan Elohim kepada umatNya. Dan tidak ada sedikitpun disinggung soal hak asasi manusia. Namun, sebagaimana kita ketahui, etika dan janji Elohim mesti selalu dijalankan beriringan. Bisa saja banyak orang Kristen yang ragu untuk mengkritik negara Israel, karena sikap itu seolah menghidupkan kembali sejarah yang buruk yang ditempuh antara orang Kristen dan Yahudi dimasa lalu. Ketakutan itupun bisa muncul karena keengganan mereka dicap sebagai anti-semitisme.Namun, apakah memang mengkritik kebijakan negara Israel akan selalu berarti bersikap anti semitisme? Kami yakin bahwa kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Israel tidak dengan sendirinya menjadi sikap anti yahudi. Demi mencari keadilan, kritik yang berkelanjutan perlu dilancarkan terhadap negara-negara dan gerakan-gerakan politik, yang tentu saja tidak harus berarti mencemarkan penduduknya dan lebih lagi persekutuan iman yang ada di negeri itu. Pernyataan-pernyataan yaang menyangkut tindakan negara Israel bukanlah pernyataan yang diarahkan kepada umat Yahudi atau Yudaisme, karena pernayataan itu menjadi bagian resmi dari perdebatan dalam masyarakat dunia. Sikap-sikap kritis yang sama pun akan muncul dari dalam atau dari luar, terhadap negara-negara dan gerakan-gerakan politik yang mengklaim nilai-nili kekristenan sebagai dasarnya” [f19] Dengan penjelasan di atas, kita benar-benar berusaha obyektif dan mengambil jarak terhadap persoalan yang kita hadapi, yaitu memandang Israel sebagai sebuah wilayah geopolitik dan memandang Israel sebagai sumber agama-agama Semitik, sehingga kita tidak terjebak pada fanatisme buta sekaligus menjaga dari sikap Anti Semitik.
Kedua, Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] tidak perlu malu dan mengingkari ekspresi Keyahudian dalam ungkapan iman dan ekspresi ibadah. penggunaan Tallit, Tsit-tsit, Kippah, Shofar, Megillot [gulungan kitab], Ta’amaei ha Miqra [melantunkan Torah], penggunaan bahasa Ibrani dalam pembacaan Kitab Suci serta midrashim [pengajaran], sekalipun itu merupakan produk kebudayaan Yahudi, namun semua mengekspresikan suatu sikap penghormatan terhadap Firman Yahweh. Pengikut Mesias tidak perlu membuang ekspresi ibadah-ibadah tersebut, karena dengan menyertakan ornamen-ornamen ibadah tersebut, justru memperkaya jati diri keagamaan yang berakar pada nilai-nilai Hebraik Yudaik.
Ketiga, Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] harus memahami cara berpikir Yahudi untuk memahami sejumlah idiom dan kebudayaan Yahudi dalam teks Kitab Suci. Apa yang dimaksudkan dengan “cara berpikir Yahudi/Ibrani?” Tim Hegg menjelaskan sbb: “To think Hebraically means to think like a Hebrew did in ancients times. Why would this be important? Because the Scriptures, for the most part, were written by Hebrews [Jews]. In fact, only Luke of all the writers of Scriptures was not a Jew by birth [at least by modern scholarly opinion]. Thus, if we’re going to understand the manner of speech, the way words are used, and the way important issues of life are described by someone in the Hebrew culture, we must understand, in general terms, how the Hebrew people thought-how they looked at life-their world view” [f20] Artinya, “Berpikir secara Ibrani berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman lampau. Mengapa hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan oleh orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci yang bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya [setidaknya menurut pendapat sarjana modern]. Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai kata-kata yang dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang digambarkan oleh seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami dengan istilah umum, mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka melihat kehidupan – pandangan dunia yang mereka miliki”.
Jika kita meneliti setiap peristiwa dan ungkapan, pernyataan Yeshua dan para rasul-Nya dalam Kitab Perjanjian Baru [Brit Khadasha], sarat dengan berbagai latar belakang dan idiom Ibrani. Contoh: “menggenapkan dan membatalkan Torah” [Mat 5:17], “mata baik mata buruk” [Mat 6:22], “mengambil roti dan mengucap syukur” [Mrk 14:22], “Yeshua mengambil roti dan memberikan kepada para murid-murid-Nya” [Yoh 21:13] “memecah-memecah roti di rumah masing-masing” [Kis 2:46], “rumah ibadat” [Mrk 6:2], “melakukan kewajiban agamamu” [Mat 6:1] “Terpujilah Engkau Yahweh [Why 19:5]”, dll. Pernyataan-pernyataan di atas tidak akan dipahami oleh pembaca modern yang tidak berlatar belakang Ibrani, sehingga menimbulkan persepsi yang salah yang berkembang dalam berbagai rangkaian doktrin yang berbeda-beda dalam “Kekristenan”.
Mari kita mengkaji beberapa di antaranya. Doktrin mengenai Perjamuan Kudus, merupakan misinterpretasi terhadap suatu ritual yang dilakukan Yeshua dan para murid-murid-Nya menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya. Jika kita meneliti latar belakang Yudaisme pada Abad Pertama Masehi, maka apa yang dilakukan Yeshua bukanlah suatu ritual yang terlepas dari konteksnya. Apa yang dilakukan Yahshua merupakan suatu ritual Seder Pesakh, di mana setiap jatuh Tgl 14 Nisan saat orang-orang Yahudi merayakan Pesakh, maka ditiap-tiap rumah keluarga Yahudi, dilangsungkan Seder Pesakh yang mengikuti liturgi tertentu. Dalam Seder Pesakh ada ritual memakan “Matsah” atau Roti Tidak Beragi serta meminum anggur sebanyak lima kali. Dalam Seder Pesakh, ada tradisi mencari “Afikomen” yaitu belahan Matsah yang dibungkus dalam kain putih dan disembunyikan dan pada ujung ritual akan dicari dan ditemukan oleh anak-anak.Apa yang dilakukan Yahshua beberapa jam sebelum penangkapan-Nya adalah pelaksanaan Seder Pesakh. Namun Yeshua memberikan makna baru dan menghubungkan isi dari Seder Pesakh itu kepada diri-Nya. Roti dan anggur yang diminum, menunjuk pada tubuh dan darah-Nya yang akan dikorbankan bagi keselamatan banyak orang[f21].
Berbeda dengan arti memecah roti dalam Seder Pesakh, maka pengertian “memecah roti” dalam Markus 14:22 dan Kisah Rasul 2:46, hanyalah ucapan birkat saat hendak makan harian dengan diiringi ungkapan, “Baruk Attah Yahweh Eloheinu Hu Melek ha O’lam ha motsi lekhem min ha arets” [Diberkatilah Engkau Yahweh Elohim Raja Semesta Alam yang memberikan roti dari bumi]. Namun ayat-ayat ini dipahami oleh mayoritas “Kekristenan” sebagai perjamuan kudus harian.
Studi yang lebih mendalam mengenai sujumlah pernyataan yang mengandung idiom Hebraik, dapat mengkaji karya-karya berikut: DR. David Bivin & Roy Blizard, Understanding the Dificults Words of Jesus” , Destiny Image Publishers, 1994 atau dapat diakses di www.JCStudies.com Robert H. Stein, Difficult Pasages in the Gospels, baker Book House, 1986 Selain kajian di atas, kita dapat memperdalam berbagai penjelasan dan idiom-idiom Hebraik, dalam sejumlah terjemahan Kitab Suci yang mengangkat tema Hebraik dengan disertai komentar-komentar ilmiah al., DR. James Trimm, The Hebraic Root Scriptures, Society for Advancement Nazarene Judaism, 2001 The Scriptures, The Institute for Scripture Research, Northriding, Republic of South Africa, 2000 Orthodox Jewish Brit Khadasha, Artist for Israel International, New York, 1996 [www.beittikvahsynagogue.org], Rabbi Yoseph Moshe Koniuchowsky, Restoration Scriptures, Your Arms to Yisrael Publishing, 2005 Keempat, Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] harus mendefinisikan ulang sosok pencitraan Yahshua dalam ekspresi seni, khususnya seni rupa. Berbagai ekspresi seni rupa atau seni lukis “Kekristenan”, cenderung menampilkan sosok Yahshua yang tidak bercirikan Yahudi sama sekali melainkan lebih mencirikan seorang Yunani dan Eropa. Berkaitan dengan kenyataan di atas, Hans Ucko memberikan ulasan sbb: “Adalah menarik mengamati bagaimana orang-orang Kristen di banyak tempat berupaya menjadikan [Yeshua] sebagai salah seorang dari kelompok mereka, seolah [Yeshua] hidup dalam kebudayaan dan keprihatinan yang sama dengan mereka. [Yehshua] menjadi [Yeshua] orang Afrika, [Yeshua] orang palestina, [Yeshua] orang Amerika Latin. Hal seperti ini memang perlu, sebab upaya tadi memperkaya kekristenan. Namun akibatnya terkadang orang lupa siapa [Yeshua] yang sesungguhnya. Baru akhir-akhir inilah ada upaya mengembalikan [Yeshua] ke dalam keyahudian-Nya…Seni rupa Kristen memang bercermin pada gagasan Kristen. Akibatnya, ada keraguan untuk melukiskan-Nya sebagai seorang Yahudi. Hanya Marc Chagall, pelukis Yahudi ini, yang senantiasa melukis wajah [Yeshua] orang Nazaret yang disalibkan itu dengan muka seorang Yahudi yang letih, disertai dengan syal doa-Nya yang berwarna hitam-putih yang menutupi pinggul-Nya sampai ke bawah” [f22] Untuk memvisualisasikan perbedaan penggambaran mengenai sosok Yeshua, mari kita melihat gambar di bawah ini:
Gambaran di atas memberikan suatu visualisasi mengenai Yeshua yang lebih bercorak Yunani daripada seorang Yahudi. Bandingkan dengan gambar di bawah ini yang menampilkan sosok Yeshua yang lebih mendekati keyahudian-Nya.
Bukanlah suatu kesalahan ataupun kejahatan melukiskan Yeshua dengan corak yang disesuaikan dengan kultur bangsa-bangsa yang menerima Dia sebagai Mesias. Persoalannya adalah bahwa secara kultural Yeshua adalah seorang Yahudi, maka diperlukan suatu “kejujuran estetis” dalam menuangkan sosok Yeshua yang historis sebagai seorang Yahudi, agar tidak menimbulkan “distorsi historis “dan “distorsi genealogis” terhadap pribadi Yeshua Sang Mesias.
Kelima, Pengikut Mesias [baik itu Mesianik, Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll] perlu memberikan perhatian pada pengkajian literatur keagamaan Yudaisme pra Mesias khususnya Talmud, untuk mendapatkan gambaran mengenai latar belakang ucapan dan ajaran Yeshua. Talmud didefinisikan sebagai: The Talmud is a record of rabbinic discussions pertaining to Jewish law, ethics, customs and history. The Talmud has two components: the Mishnah (c. 200 CE), the first written compendium of Judaism's Oral Law; and the Gemara (c. 500 CE), a discussion of the Mishnah and related Tannaitic writings that often ventures onto other subjects and expounds broadly on the Tanakh. The terms Talmud and Gemara are often used interchangeably. The Gemara is the basis for all codes of rabbinic law and is much quoted in other rabbinic literature. The whole Talmud is also traditionally referred to as Shas (a Hebrew abbreviation of shisha sedarim, the "six orders" of the Mishnah) [f23]. Artinya, “Talmud merupakan kumpulan diskusi-diskusi rabinik yang menyinggung mengenai hukum Yahudi, etika, kebiasaan dan sejarah. Talmud terdiri dari dua susunan: Misnah [200 Ms] kumpulan tulisan pertama dari Hukum Lisan Yahudi dan Gemara [500 Ms] sebuah diskusi mengenai Mishnah dan berhubungan dengan tulisan-tulisan Tannaitik yang terkadang melibatkan suatu spekulasi mengenai topik lain dan memperluas kajian dalam TaNaKh. Istilah Talmud dan Gemara dapat dipakai secara bergantian. Gemara adalah dasar bagi keseluruhan pemecahan masalah hukum Yahudi dan banyak dikutip dalam literatur rabinik. Keseluruhan Talmud terkadang disebut dengan Shas [singkatan Ibrani dari shisha sedarim “enam urutan” dari Mishnah].
Talmud memiliki dua versi. Versi Babilonia dan versi Yerusalem. Talmud Babilonia lebih lengkap dan tebal. Misnah terdiri atas enam pokok bahasan [sedarim] yaitu “Zeraim” [mengenai benih tanaman], “Moed” [mengenai perayaan], “Nashim” [mengenai wanita], “Nezikin” [mengenai persoalan yang dilarang], “Kodashim” [mengenai perkara yang kudus], “Toharot” [mengenai ritual penyucian diri]. Disetiap topik bahasan [sedarim] terdiri dari banyak sub bahasan [masekhot]. Keseluruhannya ada 63 masekhot dalam Misnah[f24]. Susunan Talmud sebagaimana dijelaskan di atas sbb: [f25] SEDER ZERA‘IM • Tractate Berakoth SEDER MO‘ED • Tractate Shabbath SEDER NASHIM • Tractate Yebamoth • Tractate Kethuboth • Tractate Nedarim • Tractate Nazir • Tractate Sotah • Tractate Gittin II. SEDER NEZIKIN • Tractate Baba Kamma • Tractate Baba Mezi‘a • Tractate Baba Bathra • Tractate Sanhedrin • Tractate ‘Abodah Zarah • Tractate Horayoth SEDER KODASHIM SEDER TOHOROTH • Tractate Niddah • Tractate Tohoroth
Footnote: [f5] : "http://en.wikipedia.org/wiki/Antisemitism" [f6] : Ibid., [f7] : Messianic Judaism: Its History, Theology and Polity, Lewiston, New York: Edwin Mellen Press, 1982, p.13] [f8] : Messianic Jewish Manifesto, Jewish New Testament Publications, 1991, p.126 [f9] : Band. Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, Literatur SAAT, 2004. [f10] : Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999, hal 5 [f11] : Akar-akar Keyahudian dalam Liturgi Kristen, dalam : Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, no 53, Yogyakarta: 1998, hal 72-73 [f12] : Jakarta: SAHARA Publishers, 2004, hal 239-243 [f13] : DR. Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993 [f14] : Muhsin Anbataani, Jakarta: Gema Insani Press, 1993 [f15] : DR. Jamal Abdul Hadi Muhamad Mas’oud dan DR. Wafa Muhamad Rif’at Huj’ah, Jakarta: Gema Insani Press, 1993 [f16] : William G. Carr, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1993 [f17] : Muhamad Fahim Amin, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1992 [f18] : Tajuk KOMPAS 13 Juni 2002 [f19] : Op.Cit., Akar Bersama,: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, hal 15 [f20] : Interpreting the Bible: An Introduction to Hermeneutics, TorahResources.com Distance Learning Yeshiva, 2000, p. 20 [f21] : Band. Buletin Nafiri Yahshua Vol 27/2006 hal 32-39 [f22] : Op.Cit., Akar Bersama, hal 6-7 [f23] : http://en.wikipedia.org/wiki/Talmud [f24] : Tracey R. Rich, Torah, 1995-1999, www.jewfaq.org [f25] : by Rabbi Dr. Isidore Epstein of Jews’ College, London, http://www.come-and-hear.com/talmud [f26] : Rachmiel Frydland, When Talmud is Right, http://www.menorah.org/whentlir.html
Copas From : teguhhindarto.blogspot.com