Oleh : Pdm Ir Benyamin Obadyah
Written by Novian Wednesday, 22 June 2011 08:56
Copas From :http://kehilatmesianikindonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=23:perbedaan-cara-pandang-ibrani-dan-yunani-oleh-pdm-ir-benyamin-obadyah-&catid=5:artikel&Itemid=5
==============================
Setiap bangsa dan bahasa mempunyai cara pandang atau cara berpikir sendiri. Ketidaktahuan akan adanya perbedaan cara pandang akan menghambat komunikasi bahkan akan memicu kesalah-pahaman dan konflik antar kelompok. Ketika mengikuti suatu pelatihan di Kuala Lumpur, Malaysia; saya ditanya oleh teman orang Malaysia, bagaimana orang Indonesia mengucapkan pukul 08.30. Saya jawab, setengah sembilan. Ah, bagaimana pula, setengah sembilan sama dengan empat setengah, ujarnya. Bagaimana dalam bahasa Malaysia?, tanya saya penasaran. Delapan setengah, jawabnya sambil tersenyum merasa unggul. Pengalaman ini terjadi karena ada perbedaan cara pandang, bahasa Indonesia memakai basis angka yang dituju (dhi 9) sedangkan bahasa Malaysia memakai basis angka yang sudah dilalui (dhi 8). Kejadian ini merupakan contoh ringan perbedaan cara pandang, tetapi dalam kasus lain perbedaan dapat menimbulkan akibat yang serius.
Kalau dalam sesama rumpun Melayu saja sudah terjadi cara pandang yang berbeda, tidak dapat disangkali bahwa antara bahasa Ibrani dan bahasa Yunani bukan hanya bentuk dan bunyi abjadnya saja yang berbeda tetapi juga cara berpikirnya. Ini penting disadari oleh orang Kristen yang cenderung mengagungkan bahasa dan cara berpikir Yunani karena Tuhan mengilhamkan seluruh Perjanjian Baru kepada rasul-rasul dalam bahasa Yunani. Pernyataan yang patut diragukan kebenarannya pada zaman ini. Semua penulis injil dan surat dalam PB adalah orang Ibrani bahkan Markus dan Lukas sekalipun. Mereka adalah orang Yahudi yang memakai nama Yunani. Ketika Ruakh Hakodesh (Roh Kudus) memberi ilham kepada mereka, mereka tidak tiba-tiba diubah pikirannya menjadi seperti orang Yunani yang dibesarkan di Athena. Mereka tetap orang Yahudi yang dibesarkan dengan bahasa ibu Ibrani. Sesuai kesaksian Papias, murid rasul Yohanes, Mattityahu (Matius) menulis dalam bahasa Ibrani dan orang lain menyalin menurut kemampuannya (Encyclopedia Britanica 2000, CD deluxe,entry Matthew St). Bahkan menurut kesaksian Epiphanius tentang kelompok Netzarim (Nasrani) pada tahun 370, pasca Konsili Nicea, “mereka memakai Kabar Baik menurut Matius yang seluruhnya dalam bahasa Ibrani. Jelas mereka memelihara naskah ini, dalam bahasa Ibrani seperti tulisan aslinya” (Epiphanius;Pan.29). Ini menunjukkan bahwa tidak semua naskah PB ditulis dalam bahasa Yunani. Kalaupun rabbi Shaul (rasul Paulus) sebagai rasul kepada bangsa-bangsa menulis surat dalam bahasa Yunani, ia tetap orang Ibrani yang tetap mengaku bahwa ia seorang Farisi (KR 23:6). Ini berarti untuk memahami kitab suci dengan lebih baik, orang Kristen perlu memahami cara berpikir Ibrani agar mempunyai alur pikir yang sama dengan para penulisnya, baik PL maupun PB. Sebagai contoh, Torah (Arab Taurat) dalam naskah Septuaginta (terjemahan PL bahasa Yunani) diterjemahkan sebagai nomos yang artinya ‘hukum’. Padahal dalam bahasa aslinya yaitu Ibrani seperti yang diilhamkan oleh Ruakh Hakodesh kepada Musa dan nabi-nabi, torah berarti ‘pengajaran’ yang berbeda dari hukum. Naskah PB Yunani yang dalam teologi Kristen dinyatakan sebagai ‘diilhamkan langsung’ oleh Roh Kudus ternyata hanya ‘meminjam’ istilah dari naskah Septuaginta yang diterjemahkan oleh orang Yahudi atas perintah penguasa Yunani (Helenis) 3 abad sebelum Masehi.
Orang Yunani memandang dunia dengan pikiran-mind (pemikiran dan konsep abstrak). Sebaliknya orang Ibrani memandang dunia melalui indera-senses (pemikiran konkrit). Suatu hal dilukiskan dengan cara hal itu dapat dilihat, diraba, dicium, dikecap dan didengar.Perhatikan pemazmur melukiskan kebaikan Tuhan dengan cara berpikir Ibrani,
"Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya YHWH itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! (Mazmur 34-9)
Orang Yunani meletakan semua fakta dalam garis lurus (linear). Kebenaran ada pada ‘salah satu’ kutub saja. Semua ‘fakta’ ada pada garis lurus, seseorang menemukan posisinya di salah satu ujung garis itu. Sebaliknya, orang Ibrani berpikir secara sirkular (lingkaran), kebenaran dapat muncul sebagai paradoks. Dua fakta yang terlihat berlawanan tetap diterima sebagai benar ( ini menimbulkan ‘tegangan’). Sebagai contoh,salib Mesias adalah suatu paradoks. Salib menunjuk pada keadilan, dosa harus dihukum; tetapi di sisi lain salib juga menunjuk pada kasih, dosa dapat dihapus oleh darah Anak Domba Elohim. Contoh lain, Torah berisi kutuk, tetapi Torah juga berisi berkat yang luar biasa. Orang Ibrani menerimanya tanpa kesulitan; hindari hal-hal yang mengarah pada kutuk, lakukan hal-hal yang membawa berkat. Orang Yunani, berpikir pada garis lurus, menghindari ‘tegangan’,menghindari kutuk dengan cara ‘membatalkan’ Torah. Inilah yang diajarkan teologi Kristen. Jelas teologi Kristen dibangun atas cara berpikir Yunani yang tidak punya bagian dalam perjanjian Abraham.
Orang Kristen berpikir a la Yunani sulit memahami tulisan nabi dan rasul yang semuanya orang Ibrani. Ini terlihat dari surat pembaca dari Heriyanto, aktifis Kristen tinggal di Kebon Kopi, Banten (GAHARU No 44/2006).
Kembali ke akar Ibrani iman Kristen diibaratkan sebagai mobil yang melaju cepat, tiba-tiba memindahkan persneling dari gigi 4 ke gigi 1. Logika gigi mobil memang baik untuk gigi mobil. Cara berpikir seperti itu adalah cara berpikir garis lurus, a la Yunani. Ada cara berpikir lain, cara berpikir Ibrani yang sirkular. Mesin alam semesta berjalan dengan logika siklis. Tuhan membuat ukuran waktu dengan model siklis. Malam berganti pagi dengan bergerak maju, bukan mundur (jarum jam terus maju ketika jam 12 malam pindah ke jam 1 pagi dini hari). Demikian juga pergantian bulan, tanggal 31 berubah menjadi tanggal 1 bulan berikut secara tiba-tiba tanpa merusak jam. Pengajaran akar Ibrani justeru dimaksudkan sebagai gerak maju menyongsong era baru dalam penghayatan iman Kristen yang telah lebih dari 19 abad diselewengkan oleh Ajaran Pengganti (Replacement Teology). Pengajaran akar Ibrani merupakan suatu landmark, penanda betapa kekristenan modern abad 21 telah ‘lupa diri’ dari mana asal usulnya.
=================================
=================================
=================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar